Guci adalah barang yang
cukup penting dalam budaya Dayak Ngaju. Dalam bahasa Dayak, guci dikenal dengan
nama balanga atau tajau. Benda yang terbuat dari tanah liat ini menjadi simbol
prestise bagi orang Dayak. Hanya keluarga-keluarga yang dianggap terhormat yang
memiliki guci di rumahnya.
Keluarga kami memiliki
cukup banyak guci. Guci-guci itu kebanyakan warisan dari para leluhur kami. Ada
juga guci yang dibeli oleh Papah. Guci yang dibeli ini bukanlah guci baru,
melainkan barang yang sudah kuno juga.
Selain yang menjadi hak dan tanggung jawab keluarga kami, ada beberapa
guci titipan. Guci-guci itu milik orang lain yang dititipkan karena rumah orang
tersebut tidak terlalu besar. Ada juga yang belum memiliki rumah permanen. Yang
jelas, guci-guci itu sekarang menjadi bagian dari rumah kami.
Guci-guci penghuni
rumah itu juga turut mewarnai masa kecil saya. Saya dan saudara-saudara saya
pernah bermain petak umpet di dalam guci. Guci itu pula yang menjadi tempat
penyimpanan rahasia saya. Walaupun sering bermain di sekitar guci, saya selalu
ingat pesan orang tua kami untuk menjaga guci itu jangan sampai pecah.
Untuk melaksanakan
pesan itu, kami hanya bermain dengan guci-guci berukuran besar saja. Guci-guci
besar biasanya cukup kuat. Guci-guci ini tidak akan bergeser dari tempatnya
kalau tertabrak. Tentunya tidak akan retak
atau pecah juga. Guci-guci kecil tidak berani kami mainkan. Guci-guci
kecil ini telah menjadi mas kawin beberapa perempuan yang menjadi leluhur saya.
Dalam acara adat Dayak
Ngaju, guci memiliki peran tersendiri. Pada saat pernikahan, guci menjadi mas
kawin. Demikian pula dalam upacara lainnya, guci selalu memiliki peran. Ada
yang dihias-hias, ada juga yang menjadi tempat sesajen. Beberapa guci ada yang
dianggap keramat. Ada juga yang katanya memiliki penunggu dari alam gaib.
Cerita tentang alam
gaib makin berkembang karena ada mitos bahwa guci itu berasal dari langit. Saya
tidak terlalu ingat bagaimana ceritanya. Yang jelas guci itu bukanlah buatan
manusia Dayak, tetapi diturunkan dari langit. Itu sebabnya di pemukiman orang
Dayak tidak ada yang bekerja membuat guci.
Selama masa pertumbuhan, saya hanya tahu kalau guci adalah barang yang
kuno, barang yang sudah tua. Itu karena hampir semua guci yang ada di rumah
kami adalah barang kuno. Guci-guci ini kabarnya dibuat oleh nenek moyang kami
untuk kemudian diwariskan turun-temurun sebagai harta kekayaan.
Guci yang dibuat sendiri oleh nenek moyang memberikan inspirasi bagi
saya untuk membuat guci sendiri bertahun-tahun yang lalu. Saya ingat, saya
pernah berusaha membuat guci dari tanah liat yang saya ambil dari pembataan.
Pembataan adalah tempat membuat bata yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah
kami di Palangkaraya. Saya mengambil segumpal tanah liat dan mencoba
membentuknya menjadi sebuah guci. Saat itu saya tidak berhasil. Boro-boro
membuat guci berhiaskan naga seperti yang ada di rumah, bentuk gucinya pun
tidak terlihat. Benda hasil karya saya itu lebih mirip mangkok datar atau
asbak. Sejak saat itu, saya maik menghargai guci-guci yang ada di rumah kami.
Guci-guci yang ada di Kalimantan, kebanyakan berhiaskan figur naga. Ada
yang bergambar naga, ada juga yang hiasannya timbul. Naganya berbentuk seperti
ular dengan mulut yang terbuka. Sekilas mengingatkan pada budaya Tiongkok.
Sepertinya memang ada hubungan antara budaya Dayak dan Tiongkok. Guci ini pun
memiliki tingkatan. Tingkatan tertinggi adalah yang naganya berhadapan, atau
malah bertentangan. (?)
Suatu kali, saya melihat tayangan tentang budaya Dayak di Kalimantan
Tengah. Tayangan ini melengkapi pengetahuan saya tentang guci. Dalam tayangan
itu ada beberapa narasumber. Ada yang memberikan keterangan secara adat,
antropologi, dan juga kajian lainnya.
Beberapa informasi seperti legenda bahwa guci diturunkan dari langit dan
menjadi bahan berharga telah saya ketahui. Yang saya baru tahu adalah guci-guci
itu dibawa oleh pedagang Cina. Mereka membawa porselen untuk dijual di daerah
Asia Tenggara. Selain guci, ada juga piring-piring keramik. Walaupun sudah bisa
diduga berasal dari Cina, tetap saja saya merasa takjub. Rasanya seperti
menemukan potongan puzzle yang hilang. Keramik asal Cina itu dijual dengan harga mahal. Hanya orang
tertentu saja yang dapat membelinya. Barang-barang keramik ini, guci dan piring
hias, secara perlahan namun pasti menjadi bagian kehidupan masyarakat Dayak.
Dalam tayangan tersebut juga disebutkan bahwa tidak ada satu pun benda
keramik itu yang dibuat di Pulau Kalimantan. Semuanya adalah buatan luar pulau,
barang impor. Mungkin karena itu pula yang membuatnya menjadi barang yang
bergengsi. Sampai saat ini penduduk negeri ini juga masih banyak yang
menganggap barang impor itu keren.
Setelah menonton tayangan itu, penghargaan saya terhadap guci-guci di
rumah kami bertambah. Saya langsung mengamati guci yang berada di rumah kami di
Jakarta. Guci itu, selain sebagai pajangan, juga kami gunakan sebagai tempat
meletakkan tongkat dan payung. Kapan-kapan kalaua da waktu saya akan memotret
guci-guci itu dan membuat pencatatan detailnya. Mungkin saya akan membagikan
catatan itu di blog ini, atau biarlah itu menjadi bagian dari rahasia keluarga
saya. {ST}