Tanggal 9 Maret 2016 yang akan
datang, akan terjadi gerhana matahari total (GMT). Kali ini, saya bertugas
untuk menulis pengetahuan tentang gerhana. Pengetahuan ini sebenarnya sudah
menjadi pengetahuan umum. Saya mengerti logikanya dan dapat menjelaskannya
lengkap dengan bola-bola dan cahaya senternya.
Menjadi agak berbeda ketika harus
menerangkannya dalam kata-kata sederhana yang kelak akan dibaca oleh anak-anak
kecil se-Indonesia. Ternyata susah juga, ya. Akhirnya saya memutuskan untuk
meminta bantuan ilustrator untuk membuatnya lebih mudah dimengerti. Selain itu,
saya akan menambahkan info lainnya.
Matahari memang telah lama menjadi
pusat perhatian makhluk hidup di sepanjang abad dan di segala tempat. Bintang
yang paling dekat dengan Bumi ini adalah sumber energi yang sangat berpengaruh
pada kehidupan manusia. Penanda waktu pun bisa ada di Bumi ini karena adanya
Matahari. Matahari juga menjadi sumber inspirasi bagi banyak sekali karya.
Dalam pencarian saya tentang
gerhana, saya menemukan beberapa mitos tentang gerhana di seluruh penjuru
dunia. Kebanyakan agak-agak mirip. Ada sesuatu yang memakan atau menelan sang
surya. Ada yang mengatakan Matahari ditelan oleh Batara Kala, naga, coyote, dan
aneka makhluk lainnya. Umumnya yang menelana dalah makhluk mengerikan yang juga
menakutkan bagi manusia. Yeah…Matahari aja ditelan. Bagaimana dengan manusia? Hampir
semua mitos pula menganggap gerhana bukanlah suatu hal yang baik.
Sebenarnya, dampak buruk gerhana
Matahari itu tidak hanya mitos. Gerhana matahari dapat menjadi nasib buruk bagi
orang yang melihatnya secara langsung. Sinar Matahari yang sangat terang dapat
merusak mata dan mengakibatkan kebutaan.
Dampak buruk
ini ditanggapi dengan sangat serius oleh pemerintah RI saat GMT terakhir
terjadi. Saat itu adalah tahun 1983. Pemerintah, melalui Menteri Penerangan,
melarang semua warga negara untuk keluar ruangan. Semua orang diminta tidak
keluar dari rumah, dan semua celah seperti pintu dan jendela harus ditutup. Di
beberapa tempat, bahkan ada yang lebih ekstrim lagi. Ada yang menyembunyikan
anak-anak kecil di bawah meja atau di dalam lemari. Kalau yang ini mungkin
karena terpengaruh cerita makhluk penelan sang surya.
Pemerintah
juga melarang para ilmuwan untuk menyelidiki peristiwa fenomenal ini. Beberapa
penggemar astronomi bahkan harus berurusan dengan petugas keamanan karena nekat
hendak menyaksikan gerhana bersejarah itu. Lain halnya dengan wisatawan dan
ilmuwan dari luar negeri, mereka lebih leluasa bergerak dan menikmati
pemandangan. Mungkin pemerintah tidak terlalu peduli karena mereka bukan warga
negara republik ini. Cukup banyak wiasatawan asing itu yang heran melihat
kota-kota di negara kita mendadak seperti kota mati.
Tahun ini, GMT dapat dilihat di 9
kota di Indonesia, yaitu Muko-muko (Bengkulu), lalu merambat ke Palembang
(Sumatera Selatan), Tanjung Pandan (Bangka Belitung), Sampit dan
Palangkaraya (Kalimantan Tengah), Balikpapan (Kalimantan Timur), Palu, Poso,
Luwuk (Sulawesi Tengah), Ternate dan Sofifi (Maluku Utara). Beberapa
dari kota-kota itu telah mulai “menjual” momen ini sejak 2 tahun yang lalu.
Beberapa lainnya baru mulai pada awal tahun ini. GMT adalah peristiwa sangat
langka yang mungkin hanya bisa kita saksikan sekali seumur hidup.
Dengan berlalunya waktu, sepertinya
pemerintah negeri ini juga lebih bijak menyikapinya. Tentunya cukup banyak yang
menyesalkan penanganan gerhana pada tahun 1983. Saat itu GMT dapat dilihat
dengan jelas dari Candi Borobudur. Iya benar, Candi Borobudur, candi besar yang
terkenal itu. Candi yang tanpa gerhana pun didatangi oleh turis.
Terus terang,
saya menyambut gembira tentang hal ini. GMT yang awalnya hanya menarik bagi
penggemar astronomi, sekarang sudah menjadi sesuatu yang ngetrend. Trend ini
tentunya akan memicu rakyat negeri ini untuk menambah wawasannya. Astronomi dan
sains tidak hanya milik orang atau kalangan tertentu.
Selain
menambah wawasan banyak orang, GMT ini juga akan meningkatkan pendapatan warga
kota yang didatangi para wisatawan. Semoga saja dapat memberi dampak baik bagi
semua orang. {ST}