Saya
cukup sering berhubungan dengan anak-anak SD yang gemar menulis. Mereka
mengirimkan naskah cerita yang harus saya seleksi dan perbaiki dulu sebelum
diterbitkan. Naskah-naskah ini dikirim olah ratusan (mungkin ribuan) anak di seluruh
Indonesia.
Dari
beberapa anak yang mengirimkan naskah itu, ada juga yang mengirimkan data sekolahnya.
Cukup banyak anak yang bersekolah di sekolah yang terkenal mahal dan dikenal
bermutu baik. Masuk akal juga kalau mereka lebih fasih mengenal situs internet
buat anak-anak karena memang mendapatkan fasilitas itu di rumah dan sekolahnya.
Yang
cukup menjadi perhatian saya, bahkan kadang-kadang mengganggu perhatian, adalah
cara mereka menulis. Ada beberapa anak yang menuliskan ceritanya dengan huruf
kecil semua, ada yang tanpa tanda baca, ada juga yang setiap katanya diawali
dengan huruf besar. Sebagai warga negara yang tinggal di sebuah negeri yang
memiliki ejaan yang disempurnakan (EYD), saya sangat terganggu dengan
kenyataan ini. EYD itu seharusnya diajarkan di sekolah dasar, karena ini memang
pengetahuan dasar.
Kadang-kadang
saya jadi bertanya-tanya sendiri, kalau pelajaran dasar saja mereka tidak
menguasai, bagaimana dengan pelajaran lanjutannya? Terus, biaya yang mahal itu
sebenarnya buat apa? Apakah untuk fasilitasnya? Atau untuk membayar guru “profesional”?
Atau guru pintar yang sekolah tinggi berkali-kali tapi ternyata kurang dapat
mengajar? Yeah, entahlah, ya. Saya belum pernah bersekolah di sekolah yang
biayanya mahal selangit.
Yang jelas, kalau kelak saya punya anak, saya
akan menuntut sekolah untuk dapat mengajar dan membuat anak saya mengerti.
Tidak hanya sekedar mengajar dan menilai saja. Kalau untuk pelajaran lanjutan
ada yang nilainya kurang, itu mungkin karena kemampuannya atau bakatnya tidak
di situ. Tapi kalau pelajaran dasar saja tidak bisa, wah, saya sudah pasti akan
komplain atau sekalian memindahkannya ke sekolah lain yang lebih memerhatikan
pendidikan dasar. {ST}