Saya cukup sering menggunakan bus
Damri dari bandara ke rumah. Saya memilih moda transportasi ini apabila
bepergian sendiri saja dan tidak membawa terlalu banyak barang. Berkendara
menggunakan bus biayanya lebih murah. Kadang–kadang
perjalanannya pun lebih lancar. Selain itu, ada juga cita–cita mulia mengurangi jejak
karbon he he he....
Sebaliknya, saya belum pernah
menggunakan bus menuju ke bandara. Biasanya saya menggunakan taksi atau mobil
aplikasi online. Suatu kali, saya bertekad menggunakan bus dari Kelapa Gading.
Saya mendapat banyak informasi yang hampir semuanya porsitif tentang bus yang
berangkat dari Mall Kelapa Gading 2 itu.
Saya berangkat dari rumah sekitar 3
jam sebelum jam keberangkatan. Perjalanan dari rumah ke Kelapa Gading ternyata
memakan waktu cukup lama karena padatnya lalu lintas. Setiba di sana, saya langsung
naik ke bus yang memang sudah ada. Sebelumnya, saya berniat membeli tiket dulu,
sih. Namun, petugas yang ada di sana langsung meminta saya naik ke bus saja.
Di bus yang adem itu sudah ada
beberapa penumpang. Saya pun memilih tempat duduk yang nyaman untuk membaca.
Ada cukup banyak pilihan tempat duduk karena bus itu memang tidak terlalu
penuh. Saya sempat khawatir juga kalau bus itu baru berangkat apabila
penumpangnya sudah penuh.
“Jangan khawatir. Busnya berangkat
setiap setengah jam, kok. Satu penumpang juga tetap dilayani,” jawab petugas
yang saya tanyakan.
Saya pun duduk kembali dengan
tenang. Benar juga, beberapa menit kemudian bus itu berangkat. Saya melihat ke
jam tangan. Masih ada waktu 2 jam sebelum jam keberangkatan saya.
Belum jauh bus itu berjalan, tiba–tiba mesinnya terbatuk–batuk dan akhirnya mesin bus
itu mati. Pengemudinya mencoba menghidupkannya kembali. Mesin bus itu menyala
beberapa saat. Bus berjalan sebentar dan akhirnya mogok lagi. Ia mencoba
menyalakan mesin bus berkali–kali
namun tidak berhasil. Mesin mati artinya pendingin udara juga mati. Akhirnya
pintu bus itu dibuka.
Kami menunggu beberapa saat. Setelah
beberapa belas menit, saya menjadi gelisah. Jadwal penerbangan saya makin dekat
waktunya, sementara saya tidak bergerak sama sekali menuju bandara. Kegelisahan
saya makin memuncak saat melihat laju lalu lintas di sekitar saya yang
tersendat.
Saya menghampiri pengemudi untuk
menanyakan kejelasan perjalanan kami. Kalau memang tidak terlalu jelas
solusinya, saya bertekad untuk mencari kendaraan lain saja menuju bandara.
“Nanti naik bus yang berikutnya,”
kata pengemudi itu sambil melihat–lihat
telepon genggamnya.
Awalnya saya agak bete juga karena
di saat seperti ini dia kok malah lihat–lihat
HP. Rasa betenya hilang setelah saya tidak sengaja melihat ke HP–nya. Di situ ada gambar bus
lain yang baru berangkat dari tempat kami tadi berangkat.
“Ini busnya baru jalan, Mbak,”
katanya sambil memperlihatkan layar telepon genggam itu.
Saya merasa lega menanti datangnya
bus jemputan itu. Sementara pengemudi bus mencoba kembali menghidupkan mesin
busnya. Kali ini mesinnya menyala sebentar. Ia mengemudikan busnya ke tepi
jalan. Tak lama kemudian, mesin bus itu mati lagi.
Bus jemputan yang kami nantikan
datang. Saya dan beberapa penumpang, yang tidak saya kenal, bersorak bersama.
Dengan gembira kami keluar dari bus yang mogok menuju ke bus jemputan. Hampir
setiap orang membawa barangnya masing–masing.
Hanya ada 1 orang yang minta kopernya dibawakan oleh petugas.
Bus itu berjalan melalui lalu lintas
yang padat. Waktu tempuhnya menjadi lebih lama dari yang saya perkirakan. Saya
makin deg–degan
karena jadwal penerbangan saya makin dekat.
Rasa lega sempat terasa saat
mendekati bandara. Saat itu setengah jam sebelum waktu keberangkatan. Biasanya
saat itu para penumpang sudah diarahkan menuju ke pesawat. Namun, saya masih
berharap karena maskapai yang saya gunakan itu terkenal karena sering
terlambat. Saya juga berharap besar karena keberangkatan saya dari terminal 1,
terminal yang paling dekat dengan pintu masuk.
Saat mendekati persimpangan jalan ke
terminal, saya sudah menyiapkan barang–barang
saya. Jadi saat pintu bus terbuka, saya langsung meluncur keluar. Di
persimpangan menuju Terminal 1, harapan saya mulai pupus. Bus itu membelok ke jalan
lain menuju ke Terminal 3.
“Pak, kenapa gak ke terminal 1 dulu?
Kan, yang paling dekat,” tanya saya pada pengemudi.
“Enggak. Kita ke terminal 3 dulu,”
katanya tanpa ekspresi.
Setelah ke terminal 3 dan menurunkan
beberapa penumpang. Harapan saya mulai muncul lagi.
“Pak, habis ini ke terminal 1, kan?”
tanya saya penuh harap.
“Habis ini ke terminal 2. Paling 3
menit, kok,” ujarnya santai dan tidak terlalu peduli.
“Apa???” teriak saya putus asa.
Perjalanan dari terminal 3 ke
terminal 2 saja sudah memakan waktu lebih dari 3 menit. Belum ditambah dengan
menurunkan penumpang dan barang. O ya, penumpang yang tadi minta tolong bawakan
kopernya saat bus mogok itu turun di terminal 2. Kali ini pun ia tidak
mengangkat barangnya sendiri. Perlu waktu agak lebih lama di situ.
Saat mencapai terminal 1,
tinggal 10 menit lagi menjelang
keberangkatan. Saya berlari ke counter maskapai tersebut untuk melaporkan diri.
Saat itu saya juga membawa bagasi barang titipan yang lumayan besar. Namun apa
daya. Saya ditolak. Sudah tidak diterima lagi. Saya ketinggalan pesawat. {ST}