Nama Pasar Rawabelong sebagai pasar
yang menjual bunga segar sudah tidak asing di telinga saya. Saya pun sudah
cukup sering melewati jalan besar di dekat pasar ini. Pasar inilah yang menjadi
tempat tujuan kami ketika harus menyediakan daun palem dalam jumlah banyak. Daun
palem ini untuk perayaan Minggu Palma di gereja.
Karena merasa sudah mengenal daerah
ini, saya pun mengajukan diri untuk membeli daun palem. Sebelumnya, kami
mendapatkan sumbangan daun palem dari seorang jemaat yang mencukur habis pohon
palem kecilnya. Daun-daun itu bila dikumpulkan berjumlah 80-an lembar. Jumlah ini
kami anggap tidak cukup untuk sebuah gereja yang dihadiri lebih dari 500 orang.
Maka, kami pun dengan suara bulat memutuskan untuk membeli daun palem tambahan.
Saya menuju Pasar Rawabelong di sore
hari Sabtu, sehari sebelum Minggu Palem. Saya berbelok di jalan yang sebelumnya
belum pernah saya lewati. Jalan itu adalah jalan masuk untuk ke pasar pusat
penjualan bunga itu. Selama ini, saya hanya pernah melewati jalan besar di
depan jalan masuk itu. Dengan ragu saya menjalankan mobil ke dalam jalan kecil
itu.
Setelah bermeter-meter masuk ke
dalam jalan, pasar belum juga saya temui. Yang ada hanya kios-kios kecil dan
juga halaman-halaman rumah yang digunakan untuk jualan. Hampir saja saya
memutar balik karena tidak melihat keriuhan khas pasar.
Tanda-tanda pasar terlihat dari
emperan dan trotoar yang digunakan untuk berjualan. Ada yang berjualan makanan,
minuman, ada juga yang menjual janur kuning. Saya segera menepikan parkir dan
mencari tempat untuk parkir. Niat untuk masuk ke sebuah lapangan parkir saya
urungkan karena melihat banyaknya gundukan daun-daun yang dijual di tempat itu.
Ya, lapangan parkir itu sudah dikudeta oleh apra pedagang untuk menjadi lapak
jualan.
Saya memarkir si Mocil di halaman
sebuah kantor. Dari situ saya berjalan ke lapangan yang tadi hendak saya
masuki. Lapangan yang banyak gundukan daun-daun yang dijual itu. Langsung saja
saya menghampiri gundukan daun palem dan melakukan tawar menawar dengan abang
penjual daun.
Seperti juga tawar menawar lain yang
saya lakukan, ada juga waktunya untuk pura-pura pergi dari tempat itu. Si abang
kembali memanggil dan menyetujui harga yang lebih murah dari yang dia berikan
sebelumnya. Kami menyetujui harga Rp. 6000/ikat. Satu ikatnya ada 10-12 daun
palem. Saya yang sebenarnya tidak tahu harga pasaran daun palem, sempat
menganggap harga itu mahal.
Anggapan itu segera berubah ketika
saya melihat ke sekitarnya. Di lapak-lapak lain di sekitar situ tidak terlihat
tanda-tanda daun palem. Entah karena memang sedikit atau tidak ada stok, atau
karena habis diborong menjelang minggu palem.
Saya membeli 20 iakt daun palem yang
kemudian diikat menjadi 1 berkas yang ringkas. Saya membawanya sendiri dengan
menentengnya. Si abang penjual daun sudah mengikatnya dengan dilengkapi
tentengan tangan dari tali. Ternyata, apa yang terlihat ringkas itu, bial
ditenteng cukup berat juga. Tangan saya sampai sakit dan kemerahan karena
mengangkutnya.
Akhirnya saya memanggul daun-daun
palem itu di bahu saya. Sebenarnya itu terinspirasi dari peristiwa memanggul
salib, tapi kenyataannya malah seperti kuli pasar yang memanggul barang. Untuk sejenak,
saya menjadi kuli pasar pemanggul daun palem. {ST}