Akhir-akhir ini terjadi demonstrasi
yang dilakukan oleh guru-guru honorer. Mereka menyampaikan aspirasinya dengan
turun ke jalan di depan gedung DPR. Yang mereka sampaikan adalah permintaan
untuk diangkat sebagai PNS. Para guru ini, setelah bertahun-tahun masih
berstatus honorer. Mereka mendapat honor yang tidak terlalu besar setiap
bulannya.
Dengan menyandang status honorer, yang
mereka terima hanya honor. Berbagai benefit pegawai lainnya, seperti tunjangan,
tidak ada. Honor itu terasa makin berat karena harus ada biaya lain yang mereka
tanggung. Mereka juga tidak mendapatkan fasilitas kesehatan seperti layaknya
pegawai.
Demo guru honorer ini tidak hanya
diikuti oleh guru dari Jakarta. Guru-guru honorer dari daerah lain juga ikut
bergabung. Bahkan diberitakan sampai ada yang pingsan ketika mengikuti demo
ini. Organisasi persatuan guru kabarnya tidak bertanggung jawab atas demo ini.
Itu bisa dimaklumi, sih. Mungkin saja organisasi itu hanya mengurusi guru-guru
yang berstatus pegawai saja.
Saya agak sedih sebenarnya mendengar
kabar ini. Kenyataan mereka sampai mengambil jalan untuk demonstrasi tentunya
karena apa yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan harapan. Bisa dibayangkan
bagaimana susahnya kehidupan mereka, sedangkan mereka harus mengajar anak-anak
Indonesia. Bagaimana mungkin bisa mengajar dengan baik kalau masih kepikiran
urusan perut?
Saya ingat, bertahun-tahun yang
lalu, ketika saya masih kecil, saya pernah bercita-cita menjadi guru. Cita-cita
itu pernah saya sampaikan ke orang tua saya. Saya juga ingat bagaimana wajah
mereka tidak antusias sama sekali. Beda halnya ketika saya berkata mau menjadi
pilot atau insinyur.
Dalam masa pertumbuhan saya menjadi
dewasa, keinginan menjadi guru makin memudar. Kalaupun mengajar, saya tidak
berniat menjadikannya profesi tumpuan hidup. Sebabnya? Tentu saja karena
penghasilannya yang konon kabarnya enggak besar itu. Selain itu, saya memiliki
pilihan lain.
Kabarnya, guru di zaman sekarang
beda dengan guru zaman kolonial. Saat negeri ini masih menjadi negeri jajahan,
guru adalah profesi yang sangat dihormati. Almarhum kakek buyut saya, Eyang
Marto, adalah seorang guru. Hampir semua orang yang memiliki kesempatan
mengenalnya menceritakan bagaimana dihormatinya dia. Penghormatan itu diberikan
bukan karena ia adalah pahlawan perang yang menaklukkan negeri seberang, tetapi
karena ia adalah seorang guru. Eyang Marto selalu disambut dengan hormat oleh
semua orang di sekitar tempat tinggalnya. Anak-anak kecil juga sering mengikuti
sepedanya sambil mengungkapkan kekaguman.
Saat itu, tidak semua anak boleh
bersekolah. Sekolah adalah kemewahan. Menjadi murid adalah keistimewaan.
Menjadi guru adalah sesuatu yang sangat istimewa. Penghargaan kepada guru di
saat itu sangat besar. Penghargaan para mantan murid Eyang Marto masih terasa
sampai bertahun-tahun kemudian, bahkan sampai keturunannya yang ke-4.
Menjadi guru juga diambil oleh
beberapa keluarga saya di Kalimantan. Entah berapa orang sepupu Papah yang
menjadi guru. Orang-orang dari kampung Papah di tepi Sungai Kahayan itu dikenal
pintar. Itu karena banyaknya guru yang berasal dari daerah situ.
Entah sejak kapan profesi guru tidak
lagi terlalu dihargai di negeri ini. Profesi guru dianggap kastanya lebih
rendah dibandingkan pengusaha, politisi, pilot, dokter, dll. Guru-guru, apalagi
yang honorer, dibayar sangat kecil. Adalah kisah yang umum terjadi bila ada
guru yang memiliki usaha sampingan untuk menambah penghasilan. Ada yang
berhubungan dengan pengajaran seperti les privat, ada juga yang berjualan
barang. Saya mengenal guru yang menjual gorengan dan juga tas kerajinan rotan.
O iya, ada juga yang menjadi tukang ojek.
Guru, sebagai orang yang akan
mempersiapkan generasi selanjutnya, seharusnya memiliki waktu untuk menyiapkan
bahan ajarnya. Persiapan itu seharusnya dilakukan ketika dia tidak mengajar.
Namun waktu itu terpaksa digunakan untuk menambah penghasilan yang
kadang-kadang membuat badan kelelahan. Bagaimana mungkin dapat mempersiapkan
diri dengan baik?
Sudah sejak lama saya berpendapat
supaya penghormatan terhadap guru dikembalikan seperti dulu. Bukan karena saya
cucu buyutnya Mbah Marto, lo. Bukan hanya penghormatan berupa sikap, tetapi
juga dengan kompensasi yang diterima. Guru seharusnya mendapatkan kompensasi
yang sama besarnya seperti dokter bedah. Mereka sama-sama menyelamatkan
kehidupan manusia. Itu pendapat saya, sih. {ST}