Beberapa
hari yang lalu, saya mengalami dehidrasi sampai hampir pingsan. Ini adalah
pengalaman yang cukup berkesan bagi saya. Selain traumatik, saya juga bersyukur
karena masih dijaga oleh Tuhan. Ya, saya yakin saya dijaga.
Siang itu, saya
berkendara dari daerah Jatimurni mau kembali ke rumah. Paginya, saya berhasil
mencapai tempat ini dengan bantuan aplikasi Waze. Aplikasi penunjuk jalan itu
sukses mengantarkan saya dalam waktu yang singkat. Namun aplikasi itu tidak
bisa saya gunakan saat pulang karena baterai telepon genggam saya sudah
melemah. Saya pun mengandalkan petunjuk jalan berwarna hijau yang ada di
sepanjang jalan.
Sayangnya, petunjuk
jalan itu sering tidak bersambung. Setelah menyusuri jalan cukup lama, saya
tidak berhasil menemukan petunjuk berikutnya. Dapat dikatakan kalau saya
nyasar. Yang membuat keadaan lebih runyam adalah AC mobil yang rusak. AC ini
bertambah parah panasnya ketika keadaan jalan macet. Saat itu, kendaraan di
jalan yang saya lewati sangat padat. Macet luar biasa.
Saya mencoba memusatkan
perhatian di tengah kemacetan itu. Tak terasa, keringat bersimbah di tubuh
saya. Keringat bahkan keluar di tangan dan betis saya. Panasnya memang luar
biasa. Mungkin sebanding dengan di dalam sauna.
Menyadari banyaknya
keringat yang keluar, saya sadar kalau saya harus segera minum untuk
menggantikan cairan yang keluar itu. Kebetulan di mobil ada sebuah botol air
yang masih ada airnya. Saya segera meminumnya. Air itu hangat, bahkan nyaris
panas. Tidak terlalu segar rasanya. Namun saya harus minum. Saya mulai
mengenali tanda-tanda terjadinya dehidrasi.
Ternyata sebotol air
itu tidak cukup menggantikan cairan yang keluar dari tubuh saya. Saya sempat
berencana untuk mampir sebentar di
pinggir jalan mencari minuman tambahan. Namun hal itu tidak mudah dilakukan di
jalanan super macet itu. Kalau saya turun, artinya saya akan membuat penghambat
baru dari jalanan yang padat itu.
Setelah
cukup lama berkonsentrasi, akhirnya saya tiba di tempat yang saya kenali.
Sepertinya saya pernah melewati tempat itu. Ruas jalannya besar, walaupun tetap
padat. Saya langsung mengenali tempat itu ketika melihat toko Giant. Saya ingat
sekali toko itu karena saya ikut berperan membukanya. Dengan semangat, saya
langsung menginjak pedal gas menuju pintu tol.
Sebelum tiba di pintu
tol, barulah saya merasakan kepala yang pusing dan badan agak meriang
merinding. Ini adalah tanda-tanda dehidrasi yang dari tadi sudah saya kenali
namun saya abaikan. Makin mendekati pintu tol, makin saya keleyengan. Akhirnya
saya berhenti di salah satu minimaret di jalan itu.
Keluar dari mobil, saya
tidak bisa melangkah dengan mantap. Langkah saya sempoyongan, namun saya tetap
berusaha mencapai minimarket berpendingin udara itu. Rencananya, saya akan
numpang ngadem sambil minum. Saya langsung menuju lemari pendingin yang berisi
botol-botol minuman. Saya mengambil minuman yang kabarnya mengandung banyak
oksigen dan membawanya ke kasir.
Di depan kasir, saya
hampir tidak bisa berdiri tegak. Mata saya sudah mulai berkunang-kunang. Saya
sudah khawatir akan pingsan. Saya bersandar di dinding sambil menunggu antrean
pembayaran. Ketika akhirnya tiba giliran saya, pandangan sudah makin buram.
Mbak Kasir sudah mulai tidak jelas wajahnya. Yang terdengar jelas hanya
suaranya.
Setelah transaksi
selesai, saya segera membuka botol itu dan meneguk isinya. Air segar itu langsung
mengisi rongga mulut saya. Saya segera mencari tempat duduk yang ada di depan
toko. Saya duduk di dekat pasangan yang sepertinya sedang pacaran di sebelah
kanan saya. Di sebelah kiri saya ada keluarga kecil dengan seorang anak kecil.
Saat duduk itulah
pandangan saya makin berkunang-kunang. Pemandangan menjadi kuning terang dan
perlahan menjadi gelap. Menurut adik saya yang cukup sering pingsan, itu adalah
tanda-tanda mau pingsan. Saya tidak mau pingsan di tempat ini. Di mana tidak
ada orang yang saya kenal. Saya berdoa dengan sungguh-sungguh, minta
pertolongan Tuhan supaya saya tidak pingsan. Tuhan mengabulkannya. Saya tidak
pingsan. Mata saya berangsur-angsur jernih. Pandangan menjadi makin cerah.
Di depan saya terlihat
seorang penjaga parkir dan seorang pedagang yang melihat aneh ke arah saya.
Entah apa yang mereka pikirkan. Mungkin mereka juga berpikir kalau saya sedang
sakit. Sekilas saya sempat bercermin. Wajah saya memang pucat sekali. Atau
mereka juga mengintip rok saya yang ternyata sedikit terbuka. Entahlah.
Saya menenangkan diri
selama beberapa saat sebelum masuk kembali ke dalam minimarket. Saya membeli
coklat batangan untuk menambah tenaga. Saya juga membeli tisu untuk mengelap
keringat saya yang masih mengucur. Tak lupa saya beryukur karena sudah
terselamatkan. Sekarang tinggal berusaha untuk pulang.
Saat memasuki Mocil,
saya sudah merasa lebih segar, namun saya masih tidak yakin apakah saya bisa
siaga sampai di rumah. Saya menimbang-nimbang apakah sebaiknya masuk tol atau
lewat jalan biasa. Akhirnya saya memilih lewat jalan tol. Saya menjalankan
Mocil perlahan. Entah mengapa, AC Mocil mendadak sembuh. Perjalanan pulang itu
cukup sejuk. Syukurnya tidak membuat saya sampai mengantuk.
Saya sangat lega ketika
tiba di rumah. Saat duduk di sofa empuk di ruang tengah, barulah terasa kalau
badan saya sangat lelah. Saya pun beristirahat sambil memulihkan tenaga. Tak
lupa saya minum oralit untuk menggantikan ion-ion yang terbuang. Sekali lagi,
ini adalah pengalaman yang berkesan. Traumatik namun layak disyukuri. {ST}