Akhir-akhir
ini aktivitas politik di negeri ini makin giat. Caleg-caleg baru mulai
bersiap-siap untuk pemilihan. “Cari muka” dan “tempel muka” adalah hal umum
terjadi, bahkan di beberapa kenalan saya. Demi citra diri, banyak orang melakukan
banyak hal. Citra diri memang penting ketika kita mengharapkan orang untuk
memilih kita.
Sebagai
warga negara yang mencoba untuk menghayati arti demokrasi, saya berusaha
menghargai perjuangan rekan-rekan itu. Namun, ternyata usaha saya tidak selalu berjalan
mulus. Kadang-kadang, saya kesulitan untuk tetap menghargai. Sudah bukan
rahasia, kalau politisi itu lebih banyak menebar janji saat kampanye dan tidur
siang di saat jam kerja.
Beberapa
kenalan, ada juga yang mengajak saya untuk turut serta mendukung pencalonannya
sebagai caleg. Nah, ini juga menjadi perjuangan tersendiri bagi saya.
Sebenarnya itu adalah sebuah pengakuan atas kinerja saya. Apalagi orang
tersebut mengajak saya karena menghargai kinerja saya di gereja, sebuah
organisasi yang tidak ada kompensasi berupa uang.
Di
negeri ini, atau mungkin di seluruh peradaban dunia, selalu tidak mudah untuk
menyatakan penolakan. Selain karena yang ditolak akan merasa tidak diterima (ya
iyalah, namanya juga ditolak), yang menolak juga akan merasa segan dan tidak
nyaman. Dan itulah yang terjadi pada saya, sebuah penolakan, dimana saya adalah
pihak yang menolak.
Sampai
saat ini, saya belum bisa mempercayakan aspirasi politik saya pada seorang pun.
Ada memang beberapa yang saya kagumi, namun ketika diteliti lebih dalam, ada
pula nilai-nilai yang bertentangan dengan hati nurani saya. Karena itu, hampir
semua aktivitas politik apalagi yang berhubungan dengan caleg, saya tolak.
Karena
tidak nyaman dan segan, saya sering kali memang menjauh dari orang yang sudah
ketahuan menjadi caleg. Dengan sengaja saya menjaga jarak. Kalaupun harus
bertemu dan berbincang, kami berbincang tentang hal lain selain politik.
“Lu
itu, ya, bisa-bisanya kerja habis-habisan di gereja. Kan, kaga dibayar. Kalo
sama gue, pasti dapat, lah… Tenang aja,” begitulah kalimat “rayuan” seorang
kenalan yang nyaleg. Saya pun makin ilfill mendengarnya. Saya bisa memberikan
sepenuh hati kepada hal yang saya yakini, dan setengah hati pun tidak kepada
hal yang tidak saya yakini. Kalimat “rayuan” seperti itu membuat saya makin
yakin untuk tidak memberikan dukungan. {ST}