Tanggal
31 Oktober 2013 ini adalah hari yang luar biasa bagi saya. Saya tidak mengingatnya sebagai hari Halloween, tetapi
sebagai hari luar biasa yang berbahagia. Itu semua karena kunjungan ke SLB
Surya Wiyata.
Keluarga
Berdiakonia
Kunjungan
ini menjadi bagian dari acara “Keluarga
Berdiakonia” yang menjadi mata acara Panitia Bulan Keluarga GKI Kwitang.
Selain kunjungan ke SLB Surya Wiyata, Panitia juga menjadikan TK Karya Kasih
Tegal Alur dan Wisma Harapan sebagai tempat yang akan dikunjungi.
Saya ikut
ke SLB Surya Wiyata ini untuk mewakili 2 pihak. Pertama sebagai panitia, kedua
sebagai jemaat lingkungan 1, tempat di mana saya bermukim. Panitia merencanakan
untuk membagi lingkungan siapa saja yang mengunjungi tempat ini. Untuk SLB
Surya Wiyata, rencananya akan dikunjungi oleh Lingkungan I, Lingkungan II,
Lingkungan III, Bajem Jatimurni dan Pos Wismajaya. Kunjungan kali ini berada di bawah koordinasi Oki alias Obaja Takain sebagai PIC-nya.
Karena
berbagai keterbatasan, yang ikut dalam kegiatan ini hanya 2 lingkungan, yaitu
lingkungan I dan II. Hari kunjungan yang jatuh hari Kamis, membuat jemaat yang
dapat ikut kunjungan lebih terbatas lagi. Hari Kamis adalah hari kerja bagi
kebanyakan orang. Hari ini memang dipilih berdasarkan masukan dari SLB Surya
Wiyata, dimana mereka bisa dikunjungi pada hari sekolah, yang juga adalah hari
kerja itu.
Makan dan Bernyanyi
Bersama
Kunjungan
kami kali ini tidaklah terlalu formal. Acara yang kami rencanakan memang sederhana
saja, hanya menyanyi dan makan bersama. Ini juga berdasarkan masukan dari
banyak pihak tentang keterbatasan adik-adik di SLB ini. Acara juga sebaiknya
tidak terlalu lama, supaya tidak membosankan.
Acara
dimulai pukul 10.30 WIB, agak terlambat dari yang direncanakan karena ada
beberapa peserta yang nyasar. Setelah itu, kami langsung memulai acara dengan
doa yang dilanjutkan dengan menyanyi bersama dan perkenalan. Acara ini diikuti
oleh 100 orang anak SLB dan 24 orang guru-gurunya.
Tak
disangka, ternyata adik-adik di SLB ini suka bernyanyi. Kabarnya, kalau sudah
ada acara menyanyi bersama, mereka agak susah dihentikan. Intan, anak bertubuh
besar yang menyandang autis, bernyanyi dengan penuh semangat, lengkap dengan
gayanya.
Lesehan Sambil
Fotoan
Pada saat
acara, saya mengambil tempat di lantai, duduk bersama anak-anak SLB. Selain
karena saya memang lebih senang bersama anak-anak, di sekitar situ hanya ada
sedikit kursi. Kursi-kursi ini tentunya lebih cocok untuk digunakan oleh
orang-orang yang lebih sepuh.
Selagi duduk
di lantai ini, saya memotret sebanyak-banyaknya. Foto-foto ini juga sekalian
sebagai dokumentasi resmi panitia. Hampir semua kegiatan saya abadikan. Saat
bernyanyi, bertepuk tangan atau hanya sekedar duduk-duduk doang.
Anak-anak
itu, kalau soal dipotret, ternyata tidak berbeda dengan anak-anak lain. Mereka tetap
memasang pose. Menunjukkan 2 jari tangan yang berbentuk V juga dilakukan oleh
mereka ketika kamera menghadap. Setelah itu, mereka juga berlomba melihat
hasilnya. Sepertinya mereka juga familiar dengan teknologi foto yang dilengkapi
dengan layar sentuh. Ketika melihat hasilnya, beberapa anak berusaha
menggeser-geser layar kamera saya. Hasilnya, tentu saja tidak ada yang
bergerak, wong kameranya masih berteknologi tombol.
Keliling Sekolah
dan Menemukan Bimo
Setelah
makan bersama selesai, kami pun berkeliling sekolah dengan diantar oleh Bu Evi,
kepala sekolahnya. Sebelumnya, saya sudah pernah berkeliling sekolah ini,
diantar oleh Bu Evi juga, tepatnya pada saat survey untuk kunjungan ini. Walau
demikian, saya tetap mengikuti tour itu. Tentunya akan ditemukan hal yang
berbeda bila dibandingkan dengan kunjungan sebelumnya.
Ternyata
benar saja, ada yang berbeda. Pada kunjungan kali ini, kami menemukan Bimo,
seorang anak autis berbadan besar yang sedang duduk sendirian. Anak itu duduk
di antara meja dan hampir saja tidak terlihat. Sepertinya dia sedang menyepi
dan menjauh dari keramaian. Bimo kemudian dibimbing untuk kembali ke kumpulan
anak-anak lainnya.
Curahan Hati Mereka
Anak-anak
berkebutuhan khusus di SLB ini sehari-harinya diasuh dan diajar oleh 24 orang
pengajar. Jumlah ini ternyata tidak mencukupi karena kebutuhan khusus dari
anak-anak ini. Ada beberapa guru yang kelebihan beban mengajar. Kelas yang
seharusnya dengan perbandingan 1 guru mengajar 5 anak, ada yang diisi dengan 6 –
8 anak.
Tidak
hanya beban mengajar yang menjadi pergumulan guru-guru ini, upah yang diterima
pun minim. SLB Surya Wiyata belum dapat memberikan upah yang tinggi kepada
guru-gurunya. Hal ini terkait dengan banyak hal. Yang pertama tentu saja dari
sumber dananya, juga dari upah minimum regionalnya. Tempat berdirinya SLB yang
termasuk wilayah Bekasi membuat upah minimumnya lebih rendah dibandingkan
dengan daerah tetangganya, DKI Jakarta.
Mendengarkan
curhat para guru dan pegawai SLB, tentunya tidak mudah menjadi guru di sini.
Kesabaran adalah modal utama untuk bertahan hidup. Kami, yang datang hari itu
berusaha untuk sedikit meringankan beban guru-guru dengan memberikan paket
sembako. Tentu saja, kami juga berdoa untuk kelangsungan SLB Surya Wiyata ini,
untuk murid-muridnya, guru-gurunya dan segenap pengurusnya. {ST}