Buku
Rahasia Salinem ini saya kenal dari linimasa Twitter. Sampul buku ini
berkeliaran hampir setiap hari di awal tahun 2019 ini. Ceritanya sendiri awalnya
disajikan dalam versi online dalam
jangka waktu tertentu. Rupanya banyak orang yang membacanya kemudian membagikan
kesannya di linimasa Twitter. Banyak pembacanya yang mengaku sebagai “cucunya
Mbah Nem”.
Saya
yang awalnya tidak terlalu memberi perhatian, lama-lama jadi ikut menyimak.
Saya akhirnya memutuskan untuk memesan buku Rahasia Salinem versi cetak karena
saya juga memang lebih suka membaca buku dalam bentuk cetakan. Buku cetak ini
dilengkapi juga dengan tanda tangan kedua penulisnya. Akhirnya di buku itu ada
3 buah tanda tangan. Yang satu lagi tanda tangan pemiliknya yang baru,
inisialnya ST.
Cerita
yang diawali dengan wafatnya Mbah Nem itu membuka kisah lama dari perempuan tua
yang dicintai oleh keluarganya itu. Keluarga yang selama ini tinggal bersamanya
ternyata bukanlah keluarga kandungnya. Salinem mencintai keluarga itu dengan
sepenuh hati, bahkan dapat dikatakan mengorbankan dirinya sendiri. Seperti yang
dikatakan oleh banyak pembaca lain, cinta Salinem memang bukan cinta biasa.
Saya
membaca buku ini hanya dalam waktu 2 hari. Ceritanya mengalir dan mudah
dicerna. Ceritanya yang membuat penasaran membuat saya tidak meletakkan buku
ini selama beberapa jam. Selain membacanya di rumah, saya juga membawanya dalam
tas saya dalam perjalanan. Saya membaca buku ini saat sedang terjebak kemacetan
di jalanan Jakarta. Sampai-sampai rasanya agak menyesal saat pengemudi mobil
yang saya tumpangi menyampaikan kabar kalau sudah sampai di tujuan. Yang
artinya saya harus menghentikan sementara kegiatan membaca buku Rahasia
Salinem.
Merasa
Terhubung
Saya
merasa terhubung dengan cerita Mbah Salinem ini. Sejak sebelum membacanya, saya
sudah membayangkan kalau Mbah Nem adalah seorang perempuan tua berpakaian
kebaya dan kain panjang, khas embah-embah di daerah Jawa Tengah. Ternyata
memang seperti itulah deskripsi Mbah Salinem. Sosok perempuan ini mengingatkan
saya pada Mbah Jo. Seperti Mbah Nem, Mbah Jo adalah orang yang membantu
keluarga kami selama bertahun-tahun dan sudah kami anggap sebagai keluarga
sendiri.
Keterkaitan
dengan cerita ini semakin kuat saat selesai membacanya. Kesamaan Mbah Nem dan
Mbah Jo tidak hanya pada statusnya yang bukan keluarga tetapi dianggap sebagai
keluarga. Almarhumah Mbah Jo juga kehilangan pasangannya tak lama setelah kejadian
tahun 1965. Mbah Jo kehilangan suaminya yang saat itu dinyatakan hilang atau
“dihilangkan”.
Jo
sendiri sebenarnya adalah nama suaminya itu. Namanya Arjo …. (saya lupa nama
lengkapnya). Saya juga tidak ingat nama asli Mbah Jo. Dia juga tidak pernah
mengingat-ingat namanya dan melarang kami menyebutkannya. Katanya nama aslinyanya
nama biasa seperti kebanyakan rakyat jelata. O ya, satu lagi yang saya ingat, katanya kalau
perempuan sudah bersuami, dia akan dipanggil dengan nama suaminya. Mbah Jo
tidak pernah menikah lagi dan tetap menggunakan nama suaminya sampai akhir
hayatnya.
Salinem
yang hidup di zaman perjuangan kemerdekaan juga mengingatkan pada nenek saya yang
kami panggil dengan sebutan Eyang. Eyang juga pernah membantu perjuangan
kemerdekaan bangsa kita dengan menyelundupkan senjata. Saya beruntung pernah
mendengar cerita ini langsung dari Eyang. Matanya terlihat sangat bersemangat
menceritakan petualangannya di hutan yang ada kutu busuknya itu. Yeah… Mungkin
ada hewan-hewan lain juga, sih, yang diceritakan Eyang. Akan tetapi yang paling
saya ingat kutu busuknya. Saat mendengarkan cerita itu, saya belum pernah
melihat kutu busuk secara langsung.
Seperti
Salinem, Eyang juga terlibat cinta lokasi dengan seorang pejuang pembela Tanah
Air. Namun, kisah Eyang tidak berakhir seperti Salinem dan Parjo. Eyang saya
jadian dengan si pemuda pejuang yang tampan dan gagah itu (ini beneran, bukan
sekedar lebay). Mereka punya 5 orang anak dan 14 orang cucu. Saya salah satu
cucunya. Kemiripan cerita ini juga membuat saya juga merasa menjadi “cucunya
Mbah Nem”.
Persahabatan
Seorang
sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam
kesukaran. Kalimat yang dikutip dari Amsal 17:17 ini sangat cocok untuk
menggambarkan cerita Salinem dan Kartinah. Mereka menjadi saudara dalam
kesukaran dan menaruh kasih setiap waktu.
Selain
merasa terhubung dengan kisah tokoh-tokohnya, nilai-nilai persahabatan inilah
yang membuat saya sangat terkesan pada buku Rahasia Salinem. Persahabatan
Salinem, Soeratmi, dan Kartinah adalah sesuatu yang sangat berharga. Apalagi
pada saat itu, perbedaan kelas sangat terasa. Zaman sekarang saja masih ada,
kok, yang membeda-bedakan orang berdasarkan keturunan dan juga harta bendanya.
Apalagi di saat seperti itu, di mana para keturunan bangsawan sudah pasti
menjadi orang yang dilayani.
Persahabatan
ketiga orang ini teruji dalam perjalanan waktu. Salinem, yang hidupnya dapat
dikatakan paling menderita, dapat menghadapi segala ujian kehidupan itu bersama
dengan teman-temannya. Salinem juga memberikan kekuatan dan penghiburan bagi
sahabatnya yang sedang susah. Keberadaannya di dunia memberi arti pada
sesamanya.
Saat
menutup halaman terakhir buku ini, saya menduga akan ada kelanjutan dari novel
yang memiliki lagu latar ini. Entah berupa buku lanjutan, film, atau warung
pecel seperti dalam cerita. Sepertinya saya akan terus mengikuti perkembangan
Mbah Salinem bersama dengan cucu-cucunya yang lain. Saya juga merekomendasikan
buku ini kepada orang-orang yang saya kenal dan kepada siapa saja yang nyasar
ke blog ini. {ST}