Di
banyak media, cukup banyak iklan sekolah bilingual. Di sekolah ini, pelajaran
disampaikan dalam 2 bahasa, umumnya bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Bilingual ini dianggap sebagai keunggulan sekolah tersebut dan umumnya
dituliskan dengan desain menarik dan mudah terlihat. Bilingual juga menjadi
nilai tambah yang membuat sekolah merasa berhak untuk menarik biaya sekolah
yang lebih mahal.
Sekolah
bilingual ini tidak hanya ada untuk sekolah dasar ataupun sekolah menengah,
untuk TK-pun ada. Anak-anak yang baru tumbuh dan belajar bicara itu sudah dijarakan
untuk mengerti 2 bahasa. Hebat, kan?
Sepintas
memang terdengar hebat. Mampu berbicara dengan bahasa lain memang hebat dan
layak dikagumi. Saya pun mengagumi orang yang seperti itu dan memang berusaha
untuk menjadi orang seperti itu. Sampai saat ini, selain bahasa Indonesia, saya
hanya bisa bahasa Inggris.
Suatu
kali, dalam perbincangan dengan seorang ibu yang telah cukup lama mengurusi
dunia bacaan anak, dan tentunya juga cukup memahami psikologi anak, ternyata
pelajaran 2 bahasa buat anak yang terlalu muda itu tidak selalu berdampak baik.
Anak-anak balita
kebanyakan masih belum mampu untuk membedakan sesuatu apabila suatu hal tidak
dikomunikasikan dengan bahasa yang konsisten. Misalnya serangga terbang
bersayap indah itu kadang-kadang dibilang sebagai kupu-kupu, kadang-kadang butterfly. Entahlah apa yang akan
diingat oleh anak itu ketika si serangga bersayap indah itu lewat di depannya. Masih
mending dengan apel, yang bahasa Inggrisnya adalah apple.
Bisa jadi,
anak-anak itu malah mencampurkan kedua bahasa yang dipelajarinya. Bahasa itu
bukan lagi menjadi 2 alias bilingual, melainkan menjadi 1 bahasa pengertian si
anak yang dicampurkan sesuka hati tanpa aturan baku. Nah, kalau jadinya seperti
ini, cita-cita untuk bilingual tidak terjadi. Malah jadinya tidak fasih
berbahasa yang 1, tidak lancar berbahasa lainnya. Dengan kemampuan bahasa yang “rusak”
seperti itu, apakah masih layak untuk membayar mahal?
Bila saya
mempunyai anak kelak, saya kan mengajarinya untuk fasih 1 bahasa dulu, baru
kemudian belajar bahasa lainnya. Jadi, anak itu memang betul-betul menguasai
bahasanya dan tidak sembarangan mencampuradukkan karena kebingungan memilih
kata-kata. Itu baru anak yang hebat. {ST}