Selama 4
minggu di bulan Agustus 2013 ini, saya selalu bertugas sebagai lektor dalam
ibadah di gereja. Sebenarnya, yang menjadi jadwal saya hanya 2 kali. Dua kali
yang lainnya itu menggantikan orang terjadwal yang tidak datang.
Selain
karena dijadwalkan, saya juga cukup sering diminta sebagai lektor. Ada yang
mengatakan, suara saya terdengar jelas dan tegas dengan penggalan kata yang
tepat. Saya juga dianggap cukup tenang dan berwibawa untuk berbicara sebagai
penatua. Tentu saja saya bersyukur dengan kepercayaan ini. Mereka yang berkata demikian
sepertinya tidak tahu ada apa sebenarnya di balik ketenangan saya. Saya juga
rasanya jadi tidak pede untuk berbagi sesuatu hal di balik membaca leksionari
ini.
Gugup dan Gagap
Sejak kecil,
saya selalu gugup bila harus berbicara di depan banyak orang. Kegugupan itu
masih ada hingga sekarang. Saya menjadi gugup bila harus menjadi lektor,
membacakan teks kitab suci di depan banyak orang. Untuk menghilangkan kegugupan
itu, biasanya saya berdoa dan mengambil napas panjang berkali-kali.
Kegugupan
saya, sering kali berbuah kegagapan dalam berbicara. Atau, bila tidak gagap,
jadinya malah berbicara terlalu cepat. Ujungnya sama saja, tidak jelas
terdengar. Hal-hal yang membuat saya makin tidak pede untuk berbicara di depan
orang banyak. Masih ditambah lagi, artikulasi saya memang kurang jelas, mungkin
karena lidah saya yang pendek. Itu belum termasuk kalau saya habis makan es.
Ketika lidah saya menjadi dingin terkena es, maka yang terdengar biasanya
adalah suara yang cadel.
Kalau sudah
begitu, bagaimana mungkin saya menjadi lektor yang dapat berbicara dengan
tenang? Rasanya benar-benar gak mungkin. Tapi kenyataannya tidak begitu. Saya
menjadi lektor dalam 4 kali kebaktian berturut-turut.
Bersiap Diri dan Berdoa
Ketika masih
berusia remaja menjelang pemuda dulu, saya pernah diundang untuk mengikuti
pelatihan menjadi lektor. Tidak banyak yang saya ingat dari pelatihan ini. Dari
yang tidak banyak itu, yang saya ingat adalah membacakannya harus terdengar
jelas dan kecepatannya sama dari awal sampai akhir. Ternyata, orang cenderung
untuk berbicara makin lama makin cepat bila berbicara di depan umum seorang
diri.
Kalau saya
dijadwalkan sebagai lektor, biasanya saya berlatih dulu di rumah. Saya akan
berlatih di depan kaca sambil membaca teksnya. Saya juga berkali-kali membaca
teksnya supaya tahu penggalan kalimatnya. Selanjutnya, saya akan membayangkan
diri saya sebagai orang yang mendengarkan. Nah, ini dia sebenarnya kuncinya.
Sebagai pendengar, saya lebih menginginkan mendengar suara yang cukup pelan,
tidak terburu-buru, namun terdengar jelas. Maka itulah yang keluar dari diri
saya.
Kekuatan Doa
Kekuatan doa
sangat nampak dalam tugas menjadi lektor ini, terutama untuk ketenangan saya.
Bayangkan saja, orang yang biasanya mempersiapkan diri sebegitu rupa, sering
“ditembak” dadakan untuk menjadi lektor. Ada kalanya, saya baru membaca teks
sesaat sebelum kebaktian dimulai. Bahkan, teksnya baru saya baca tak jauh dari
pintu masuk ketika menjelang prosesi. Gugupnya sudah gak karuan kalau tidak
berdoa memohon ketenangan.
Ketika
pelayan firman berdoa mehonon pertolongan Roh Kudus, saya pun berdoa untuk hal
yang sama. Saya minta pertolongan Roh Kudus supaya diberikan ketenangan dan
kemampuan untuk dapat membacakan dengan jelas. Selama beberapa kali, Tuhan
menolong saya.
Bersuara dan Dalam Hati Ternyata Beda
Namun, ada kalanya saya salah
membaca. Kadang-kadang, saat membacakan dengan suara, ada 1 kata atau 1 baris
yang terlewat. Di saat-saat seperti ini saya sering merasa menjadi beku.
Bingung mau ngapain. Sampai-sampai pernah rasanya saya mau ngabur aja. Gagap
dan gugup masih ditambah dengan rasa malu.
Sepertinya hal ini terjadi karena
kemampuan saya membaca lebih cepat daripada kemampuan bersuara. Sehari-harinya,
saya memang lebih sering membaca tanpa suara. Sedangkan, membaca dengan
bersuara hanya saya lakukan seminggu sekali. Itu pun bila sedang bertugas
lektor.
Sampai saat ini, saya hanya bertugas
menjadi lektor hanya ketika dijadwalkan, atau diusulkan oleh orang lain.
Rasanya belum pede untuk mengajukan diri. Entah ini artinya rendah hati atau
rendah diri. Yang jelas, saya cukup pede untuk mengajukan diri sebagai
kolektan. {ST}