Di
halaman depan GKI Kwitang, tepatnya di sebelah kanan bila kita berdiri di
pinggir jalan, ada sebuah pohon beringin putih. Pohon ini letaknya tidak
terlalu mencolok. Selain karena lalu lintas orang jarang yang melewatinya, juga
karena tidak banyak orang yang memperhatikan pohon-pohon di sekitar gereja ini.
Sebagai orang yang suka dengan
daun-daunan, pohon yang termasuk langka ini menarik perhatian saya. Lebih
menarik lagi karena pohon ini sering cukup berjasa untuk meneduhkan si Mocil.
Saya memang sukup sering memarkirkan mobil di bawahnya.
Parkiran di bawah pohon beringin
putih ini juga adalah tempat istirahat yang cukup tenang. Ketika saya mengantuk
tetapi harus mengerjakan tanggung jawab di gereja, saya sering mengambil waktu
sejenak untuk beristirahat dan tidur di mobil. Tempat yang paling tenang adalah
di parkiran bawah pohon beringin putih ini. Sebenarnya, di tempat ini juga
terdengar bunyi berisik dari kendaraan di jalan. Tapi memang itulah tempat
paling tenang di halaman gereja itu. Di tempat ini, percakapan di spo satpam
tidak terdengar. Kadang-kadang, saya merasa sangat terganggu bila ada
percakapan bersuara keras di sekitar pos satpam.
Bagi beberapa budaya, beringin putih
memiliki makna tersendiri. Di budaya Jawa, beringin putih dianggap sebagai
simbol pengayom sejati, yang mampu mengayomi diri sendiri, keluarga dan
masyarakat sekitarnya. Orang yang mengayomi bermakna bisa menjadi tempat
berteduh bagi orang lain yang mengalami kesusahan. Kalau dipikir-pikir,
maknanya cocok juga, ya, dengan gereja.
Gereja juga seharusnya menjadi
tempat berteduh bagi orang yang susah. Gereja adalah tempat orang yang letih
lesu dan berbeban berat mendapatkan kelegaan. Gereja adalah pengayom bagi
masyarakat sekitarnya. {ST}