Namaku Doni. Kesukaanku bermain di dalam hutan. Aku bercita-cita untuk keliling dunia kalau sudah besar nanti. Orang tuaku sangat tidak mendukung keinginanku ini karena tidak semua bagian dari dunia ini ada daunnya, dimana kami tidak bisa menyamarkan diri dari penglihatan musuh.
Keluarga kami adalah penghuni hutan yang selalu terlihat tenang. Terlalu banyak bergerak akan membuat kami mudah terlihat oleh musuh yang akan segera memangsa kami. Kami hanya bergerak seperlunya di saat dunia sekitar cukup aman.
Kami adalah keluarga belalang daun. Seperti juga orang tuaku, dari jauh tubuhku terlihat seperti daun. Sayapku yang hijau muda terlihat seperti daun singkong muda lengkap dengan guratan khas daun. Orang tuaku seringkali mengingatkan untuk tidak bermain di pucuk daun singkong.
Ibu penghuni rumah kayu sederhana di tepi hutan ini sering memetik daun singkong untuk makanan keluarganya. Bisa saja dia juga ikut memetik aku kalau aku berada di situ. Yang Maha Kuasa menganugerahkan kami beberapa bagian tubuh yang mirip daun untuk menyamarkan diri dari pemangsa.
Beberapa generasi keluarga kami telah bertahan hanya dengan berdiam diri di dekat dedaunan. Penampilan kami yang terlihat sama dengan sekitarnya membuat pemangsa tidak terlalu sadar akan keberadaan kami. Tidak cuma pemangsa, manusia juga perlu kejelian untuk bisa menemukan kami.
Selain keluarga kami, belalang daun, di sekitar sini juga tinggal belalang jenis lain yang juga berteman dengan keluarga kami. Kata ibuku, kami berasal dari nenek moyang yang sama. Dalam perkembangannya, kami tinggal di tempat yang sedikit berbeda yang membuat bentuk tubuh kami juga berbeda.
Belly temanku adalah belalang sawah. Dia berwarna coklat kehijauan. Belly mempunyai banyak sekali saudara.
“Doni, kita main ke dalam hutan yuk...” ajak Belly pada suatu pagi yang cerah. “Yukkk....” Doni menjawab dengan antusias.
Selama ini ia hanya sesekali main ke dalam hutan. Itu pun dia lakukan sendiri. Saudara-saudara lain tidak berminat apalagi banyak cerita misterius yang beredar di pemukiman belalang daun itu.
“Kita kan belum pernah ke dalam sana, kita bawa bekal makan siang dan air minum juga kali ya...” Kata Doni ke teman yang mengajaknya itu.
“Boleh aja, tapi gak usah banyak-banyak. Nanti kita susah melompat” Kata Belly lagi. “Kita ketemu lagi di pinggir hutan ya...” Kata Doni sambil berbalik menuju rumahnya.
Kedua belalang yang bersahabat itu tiba di tepi hutan tak lama kemudian. Mereka hanya membawa buntelan kecil yang diletakkan di bawah sayap. Keduanya berlompatan dengan senang menuju dalam hutan yang makin lama makin lebat. Pohon-pohon berukuran besar terlewati satu per satu. Mereka berhenti di tiap pohon besar yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya. Tanah pun sudah tidak lagi dihias rumput. Gantinya adalah dedaunan yang telah jatuh dan sebagian telah membusuk, warnanya coklat kehitaman.
Mereka menghentikan perjalanan mereka saat sudah kelaparan dan kehausan. Berdua mereka bertengger di akar pohon besar. Sambil tertawa ceria mereka saling berbagi makanan. Makanan yang mereka bawa langsung ludes dengan cepat. Sambil beristirahat mereka melihat ke atas pohon. Ada seekor monyet abu-abu yang sepertinya masih anak-anak. Anak monyet itu juga lagi makan.
“Ini sebelah mananya hutan ya?” Doni baru menyadari kalau mereka tidak mengenal hutan itu dengan cukup baik.
“Lho? Kamu gak tau ya? Aku pikir kamu tau. Kamu kan tinggalnya lebih dekat dengan hutan daripada aku.” Kata Belly lagi sambil menatap sahabatnya.
“Aku gak pernah main sejauh ini. Orang tuaku selalu melarang. Saudara-saudara lain juga gak ada yang mau” Jawab Doni dengan suara memelas.
“Plokkkk” suara sebuah kulit pisang yang jatuh terdengar.
Kulit pisang itu sepertinya dijatuhkan oleh anak monyet warna abu-abu di atas pohon itu. Suara keras itu membuat kedua anak belalang itu terlompat karena kagetnya. Belly yang memang terbiasa melompat di sawah langsung melompat cukup jauh dari sahabatnya itu. Doni dengan sayap daunnya membuat tubuhnya jauh lebih berat dari Belly walaupun mereka seumuran.
‘Daun’ itu juga membuat Doni tidak selincah sahabatnya. Dia tertinggal di akar pohon besar itu. Sementara kedua belalang itu panik di permukaan tanah. Seekor anak monyet memperhatikan kulit pisang yang dijatuhkannya. Kulit itu menghantam akar besar yang kemudian memantul ke tanah berlapis daun berwarna coklat kehitaman itu.
“Horeee....” anak monyet itu berteriak senang sambil bertepuk tangan. Kembali ia menoleh ke bawah memperhatikan kulit pisang berwarna kuning terang di atas warna coklat hitam dedaunan busuk itu. Tak jauh dari situ, dia juga melihat sebuah benda berwarna hijau muda.
“Lho? Kok ada daun warna hijau di akar ya? Biasanya kan yang jatuh daun yang sudah tua. Aku kan tadi cuman makan pisang, gak petik-petik daun.” Kata anak monyet itu.
Anak monyet itu segera melangkahkan keempat kakinya menuju bawah pohon. Dia berhenti di dekat kulit pisangnya dan mengamati ‘daun’ di akar pohon itu. Dia memandang heran dengan mulut sedikit terbuka.
“WAAAAA.......” Anak monyet itu berteriak keras karena kaget.
‘Daun’ itu bergerak padahal tidak ada angin. Setelah pulih dari kekagetannya, anak monyet kelabu itu kembali mengamati Doni yang membeku ketakutan. Doni sedang mempraktekkan nasehat orang tuanya untuk berdiam diri saja kalau ada musuh mendekat. Sayangnya ada bagian yang terlupa diingat Doni. Berdiam dirilah di dekat daun yang berwarna hijau. Dengan keberadaannya di atas daun coklat kehitaman itu. Dia justru sangat terlihat bedanya. Anak monyet itu mengambil daun yang bisa bergerak itu.
Doni ketakutan setengah mati berada di tangan anak monyet yang di matanya terlihat seperti raksasa itu. Dia mengepak-ngepakkan sayapnya, tapi tidak bisa bergerak. Dia tidak menyerah sampai akhirnya...dia terlepas dan berhasil terbang. Tak jauh dari situ, dia melihat sahabatnya Belly baru saja turun dari hidung si anak monyet. Doni bergerak ke arah cahaya yang segera diikuti oleh Belly yang melompat di tanah lembab itu. Mereka terus bergerak menjauhi anak monyet yang sedang menggaruk hidung itu, sampai akhirnya terdengarlah suara.....
“Doniiiiiiii.....” Terdengar suara ibu Doni dari atas pohon.
“Ibuuuuu.....” Doni balas menjawab.
Doni kemudian hinggap di dahan tempat seekor belalang daun lain bertengger. Belalang daun itu berbentuk mirip Doni tapi warna sayapnya lebih tua. Tak lama kemudian datang pula seekor belalang daun yang sayapnya sedikit bolong, ayah Doni. Ibu Doni menangis sejadi-jadinya. Doni malu untuk menangis di depan banyak belalang lain yang berkumpul tak lama kemudian.
“KKKkrrrkkkk....kkkrrrrkkkkk.....” bunyi gesekan sayap belalang sawah dari sebelah bawah.
Doni melihat keluarga sahabatnya Belly juga sudah berkumpul di atas tanah. Anggota keluarga Belly sangat banyak. Kalau sudah terbang bersama mereka bisa membuat langit tampak gelap. Yang berkumpul di bawah sana tampaknya belum ada setengah dari isi perkampungannya. Tapi jumlah itu sudah melebihi jumlah seluruh keluarga Doni. Kedua keluarga belalang itu bergerak bersama menuju tepi hutan. Ada yang terbang, ada yang melompat.
Setibanya di tepi hutan, Doni dan Belly berteriak senang tapi juga terdiam tak lama kemudian. Mereka berdua telah selamat dari ancaman si anak monyet. Mereka melangkah tertunduk menuju keluarganya yang telah berkumpul. Ayah Belly yang bertubuh besar bergerak mendekat. Kedua sahabat itu makin takut menghadapi kemarahan belalang daun gagah itu.
“Kalian tahu apa akibatnya kalau tidak menurut kata orang tua? Kami menasihatkan kalian untuk tidak ke sana karena kalian belum siap menghadapi dunia itu” Kata ayah Doni.
Doni yang mendengar ayahnya tidak marah dan berkata dengan lembut berkata kalau dia juga sudah mempraktekkan nasehat kalau ada musuh harus berdiam diri. “Sayangnya kamu lupa. Tubuh kita ini berwarna hijau untuk menyamar di antara dedaunan hijau, bukan dedaunan coklat yang busuk. Kamu berdiam diri di situ malah mengundang perhatian” kata ayahnya lagi.
“Huahahahaha......” Suara tawa terdengar membahana dari kumpulan 2 jenis belalang itu. Doni dan Belly malu sekali. Sepertinya lebih baik dimarahi dari pada ditertawakan oleh belalang 2 kampung.
“Pantesan anak monyet itu malah tambah tertarik ngeliat kamu” kata Belly menimpali.
“Suatu saat nanti, kalian akan sanggup mempertahankan diri. Anggaplah hari ini sebuah pelajaran hidup untuk kalian.” Kata ayah Doni dengan bijaksana.
“Ayo sekarang kalian beristirahat dan jangan diulang lagi” lanjut belalang daun berukuran besar itu dengan berwibawa. Kedua anak belalang itu pulang ke rumah masing-masing dengan sebuah pelajaran yang tak terlupakan seumur hidup mereka. {ST}