Akhir-akhir
ini saya cukup sering membawa kotak makan saya ke kantor. Kotak makan ini tentu
saja isinya makanan (kayaknya gak harus ditulis, ya, yang kaya ginian). Kotak
makan inilah yang menjadi teman saya di kala jam makan siang.
Dulu,
bertahun-tahun yang lalu, ketika saya bersekolah di SD, saya berhenti membawa
kotak makan. Saya pernah berpikiran, kalau yang membawa kotak makan itu hanya
untuk anak kecil, anak TK. Dan sekarang, saat saya sudah tak lagi menjadi anak
kecil, bahkan sudah sedikit ubanan, saya malah membawa kotak makan. Bagaimana
saya bisa berubah?
Tidak
membawa bekal makan saya jalani selama bertahun-tahun, selama masa sekolah dan
kuliah, dan juga di awal-awal masa saya memulai pekerjaan. Alasan praktis dan
juga suka jajan makanan membaut kebiasaan ini cukup awet. Tinggal duduk dan
pilih-pilih makanan di tempat makan, makan, dan kemudian selesai. Tidak ada
tempat makan yang harus diurusi lagi sesudahnya. Praktis.
Ketika
akhirnya saya bekerja cukup lama di sebuah kantor, kebiasaan ini mulai berubah.
Awalnya, saya dan beberapa teman selalu menjelajah dunia sekitar untuk mencari
makan siang. Hal ini menjadi petualangan seru bagi kami semua. Makin lama,
teman-teman yang suka makan keluar, tidak hanya keluar untuk makan. Mereka
banyak juga yang keluar dari pekerjaannya. Dan akhirnya, hanya tersisa sedikit
saja pasukan yang suka keluar makan.
Beberapa
teman saya, adalah juga ibu-ibu yang paginya menyiapkan masakan bagi
keluarganya. Makanan yang mereka siapkan itu, akhirnya juga mereka bawa untuk
bekal makan siang. Ibu-ibu itu, yang wajib memikirkan ekonomi keluarganya,
menimbang kalau membawa makanan itu jauh lebih hemat, dan juga lebih sehat
tentunya. Makanan yang disiapkan dengan standar kebersihan rumah dan kasih sayang,
tentunya akan lebih menyehatkan dibandingkan dengan makanan yang dijual di
pinggir jalan.
Karena
banyaknya teman keluar makan siang yang akhirnya keluar dari pekerjaannya, saya
akhirnya makan siang bareng dengan para ibu-ibu itu. Kadang-kadang kami ke
kantin, saya membeli makanan, sedangkan ibu-ibu teman-teman saya itu makan
bekalnya.
Lama-kelamaan,
saya pun menjadi bosan dengan makanan kantin dan makin merindukan makanan
rumah. Akhirnya, saya pun mencoba membawa makanan dari rumah. Ternyata, makan
makanan rumah enak juga. Apalagi kebersihannya sudah pasti terjamin. Sejak itu,
saya tidak anti lagi bawa makanan rumah.
Ada
juga beberapa orang yang meledek saya karena sering membawa bekal dari rumah.
Ditambah pula, kotak makan saya memang agak kekanak-kanakan. Maklum saja, lah,
hampir semua kotak makan yang dijual di pasaran, desainnya untuk anak-anak.
Ditambah pula dengan selera saya yang memang kadang kekanak-kanakan, maka
beberapa kotak makan itu pun menjadi milik saya.
Beberapa
tahun yang lalu, ada seorang teman, yang tadinya supplier saya, memberikan
kotak makan berbentuk unik. Kotak makan ini terdiri dari 3 kontainer kecil
untuk memuat nasi dan lauknya. Ketiga kontainer kecil ini masing-masing
terpisah dan dapat dimuat dalam sebuah tas tenteng mungil yang cantik. Kotak
makan inilah yang sehari-hari ini sering saya bawa ke kantor.
Sewaktu
kotak makan ini masih baru, saya jarang menggunakannya. Entah karena sayang
mengotorinya (karena bentuknya yang lucu), atau karena saya masih terbiasa
dengan kotak makan lama. Saya mulai sering menggunakannya dan lebih
menghargainya ketika melihat sebuah iklan di koran. Kok, bisa?
Teman saya, yang
memberikan kotak makan itu, muncul di koran dengan space yang cukup besar.
Tentunya, saya akan turut berbahagia bila dia menjadi berita karena
prestasinya. Namun, kali ini tidak demikian kejadiannya. Saya malah bersedih.
Dia muncul dalam iklan dukacita di sebuah koran nasional langganan kami. Dan,
tentu saja, saya langsung teringat pada kenangan akan dia. Satu hal yang masih
tersisa adalah kotak makan itu. Dari peristiwa itulah, saya makin sadar kalau
kotak makan itu ada di rumah saya, tak jauh dari saya, dan bisa digunakan kapan
saja saya perlu.
Dari semua
alasan melankolis itu, sebenarnya ada alasan praktis terbesar di balik bekal.
Selain untuk memudahkan saat makan siang, juga untuk penghematan. Saya memang
bertekad menabung lebih banyak untuk mencapai suatu hal (rahasia). Kotak bekal
ini setia menemani saya, dan setia pula menyelamatkan kantong saya. Lapar mata
yang dituruti ketika jam makan, sering membuat kantong saya agak jebol. Saya
suka mencoba aneka makanan, padahal kapasitas perut saya tak banyak. Kadang
cukup banyak yang terbuang.
Selain hemat,
ibu saya yang sering memasak makanan dalam juga turut merasa senang karena
masakannya dimakan oleh anaknya. Saya dan saudara-saudara lainnya, yang sering
beraktivitas sampai malam, sering tidak memakan masakan Mamah, yang porsinya
sering agak berlebihan. Mamah sering memasak untuk porsi 6 – 10 orang. Kalau hanya
untuk sekali makan, biasanya tidak akan habis. Salah satu cara menghabiskannya,
adalah dengan membawanya ke luar rumah. Rasa makanan rumah sudah pasti lebih
enak saat kit ajauh dari rumah. {ST}