Saat
menunggu di halte Transjakarta, pandangan saya tertuju pada daun hijau yang
berada di jalan raya. Daun itu adalah daun bayam. Lebih tepatnya pohon bayam
yang tumbuh di aspal. Tanpa menunggu waktu lama, saya langsung memotretnya.
Saya tahu tumbuhan ini tidak akan berumur panjang.
Saya
cukup mengenal pohon bayam karena saya pernah menanamnya waktu kecil. Sayuran
ini cukup mudah menanamnya. Biji bayam dapat tumbuh dengan mudah di tanah yang
subur. Di tanah yang tidak subur pun bayam dapat tumbuh. Buktinya di aspal
jalan raya yang keras saja dapat tumbuh.
Biji bayam berwarna hitam dan
bentuknya kecil mungil. Hampir seperti butiran. Biji ini didapat dari bunga
(atau buah) yang sudah terlihat matang. Cara untuk memisahkan biji dari
bungkusannya dengan cara menggosok-gosokkkannya
di telapak tangan. Biji hitam yang sudah terlihat, tinggal dipisahkan.
Waktu kecil saya sering mengambil
biji bayam dari pohonnya. Biji-bijian
itu kemudian saya tebar-tebar
ke seluruh penjuru halaman. Saat itu keluarga kami tinggal di rumah yang
memiliki halaman luas sekali. Saya menebarkan biji bayam itu di tanah yang
subur maupun yang tidak subur. Ajaibnya, hampir semuanya tumbuh.
Motivasi saya menyebarkan biji bayam
waktu kecil itu tidak hanya iseng belaka, lo. Saya tahu bayam itu baik untuk
kesehatan. Sayangnya banyak anak kecil yang tidak suka bayam. Malah ada juga
yang tidak suka sayur. Selain itu, ada juga yang kesulitan mendapatkan bayam.
Saya ingat ada ibu teman saya yang cerita kalau di pasar lagi tidak ada yang
jual bayam. Jadi, tujuan menyebarkan benih bayam supaya makin banyak bayam yang
tumbuh biar semua anak bisa makan bayam. Keren, kan?
Saat melihat pohon bayam yang tumbuh
di aspal itu, saya kembali teringat pada kelakuan aneh saya bertahun-tahun yang lalu. Catatan ini
sengaja saya buat sebagai pengingat dan juga menjadi ide untuk membuat cerita
anak-anak. O ya, pohon bayam di
aspal itu memang tidak berumur panjang. Beberapa hari kemudian saat lewat di
situ, saya sudah tak lagi melihatnya. {ST}