Sapundu di samping pambak |
Dalam kepercayaan Kaharingan, Tiwah berarti mengantarkan jiwa / roh manusia yang telah meninggal ke alam keabadian. Upacara ini dilakukan oleh keturunan dan keluarga orang yang telah ditinggalkan wafat. Tiwah adalah tanda bakti kepada leluhur. Upacara ini tidak langsung dilakukan saat seseorang menghembuskan napas terakhirnya, tetapi tergantung pada keputusan keluarga yang ditinggalkan.
Penyelenggaraan Tiwah memerlukan waktu dan biaya yang tidak kecil. Waktu penyelenggaran bervariasi antara beberapa sub suku Dayak. Ada yang "hanya" 3 hari, ada juga yang sampai 40 hari. Dengan waktu penyelenggaraan makin lama, maka makin besar pula biaya yang diperlukan. Biasanya Tiwah diadakan untuk lebih dari 1 orang. Keluarga yang ditinggalkan bersama-sama patungan menyelenggarakan tiwah. Perencanaan ini dilakukan secara musyawarah.
Perlengkapan pisur |
Beberapa waktu yang lalu diadakan Tiwah di Desa Tumbang Liting, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Rangkaian Tiwah diadakan selama 3 hari, mulai tanggal 5 sampai dengan tanggal 7 November 2011. Dalam Tiwah kali ini, ada 29 orang yang ditiwahkan. Berhubung hampir semua penghuni kampung ini memiliki hubungan kekerabatan, maka acara ini, yang sebenarnya adalah acara keluarga, bisa dikatakan juga sebagai acara kampung.
Dalam kesempatan berkunjung ke sana tanggal 9 November yang lalu, upacara Tiwah telah berakhir. Masih ada beberapa proses ritual yang harus dilakukan yaitu laluhan, membongkar balai tulang dan memasang sapundu.
Laluhan, Pantan, Bukung
Laluhan adalah persembahan / pemberian dari kampung-kampung sekitar. Biasanya, di jaman silam, laluhan selalu diantarkan lewat sungai. Benda-benda yang diantarkan adalah bahan-bahan makanan sebagai pemberian yang akan dikembalikan suatu saat nanti kepada pemberinya. Sekarang, saat jalan darat sudah semakin mulus, laluhan ada juga yang diantarkan melewati jalan darat, dengan menggunakan truk.
Saat rombongan yang memberikan laluhan tiba di tempat tiwah, mereka akan dihadapkan pada gerbang berhias dengan pantan (batang) melintang di tengahnya. Batang ini ternyata awalnya untuk menguji kekuatan dan sifat ksatria sang tamu. Dalam upacara laluhan kali ini, saya dibuat terkaget-kaget dengan pantan sebesar pohon kelapa yang melintang di gerbang itu. Biasanya, apalagi di Jakarta, yang namanya pantan, hanya batang ukuran kecil. Bahkan kadang-kadang menggunakan tebu, tumbuhan berbatang lunak yang langsung putus dengan sekali tebas. Manetek pantan versi asli memang jauh lebih menantang, pantan yang dipilih sering kali menggunakan kayu yang setengah mati, alot dan liat, dan tentunya susah dipotong.
Pada saat menetek pantan ini, warga kampung saling membalurkan bedak basah (kasai) kepada yang lainnya. Dalam tradisi aslinya, bedak ini berasal dari beras yang dihaluskan. Saat ini, sudah ada beberapa modifikasi. Bedak basah tidak hanya berwarna asli tepung beras, tapi juga berwarna-warni pewarna buatan. Ada warna merah, hijau, pink, kuning, dll. Yang dibalurkan pun, tidak hanya berupa bedak basah, ada yang ditambahkan dengan oli juga.
Keramaian manetek pantan juga dimeriahkan dengan minuman baram. Minuman beralkohol tradisional Dayak. Di beberapa daerah lain, baram disebut juga tuak atau anding.
Saat ini pula, orang-orang bertopeng hantu bukung berkeliaran. Tujuannya adalah mengusir roh-roh jahat yang kemungkinan mengganggu jalannya acara. Hantu bukung bergerak kesana kemari tanpa aturan yang baku. Anak-anak kecil ada pula yang ketakutan melihatnya.
Hantu bukung sadar kamera |
Pemotongan pantan juga disertai dengan bebunyian dari alat musik katambung yang dimainkan oleh ibu-ibu. Irama tertentu dimainkan sampai pantan akhirnya tidak lagi menghalangi jalan.
Rombongan penghantar laluhan pun akhirnya dapat melewati gerbang dengan penuh kebanggaan karena telah melewati rintangan. Kali ini bahan makanan yang dibawa adalah undus (rebung) kelapa dan beras.
Sapundu Berdiri Lagi
Pambak / sandung |
Setibanya di pambak, sapundu diletakkan di sebuah sandaran yang terbuat dari kayu berbentuk X. Tempat pemancangan sapundu ditentukan oleh basir / pisur yang memulai penggaliannya. Penggalian dilanjutkan oleh keluarga sampai menjadi lubang yang cukup dalam untuk pemancangan sapundu. Setelah lubang cukup dalam, aneka persyaratan dimasukkan dalam lubang itu termasuk seekor ayam hidup. Dan akhirnya kembali pihak keluarga bersama-sama menempatkan sapundu di lobang.
Sebagai sentuhan akhir, di sapundu setinggi 4 meter ini diberikan beberapa sesajen yang digantungkan. Tingginya yang jauh melebihi orang dewasa membuat keluarga harus menggunakan akal mencapai puncak sapundu yang telah terpasang. Tangga dari manusia pun digunakan, seorang berdiri di bahu orang lainnya untuk mencapai tujuan mereka, puncak sapundu.
Tahap akhir adalah mengelilingi pambak dengan sapundu yang sudah berdiri itu sebanyak 3 kali. Proses ini dipimpin oleh pisur sambil melahap. Melahap di sini artinya bukan makan, tetapi menyerukan seruan khas Dayak.
“Uuulululululululuuuuuuu……….,” teriak Pisur memulai melahap.
“Wuuiiiiii…,” warga menyambutnya.
Maka selesailah sudah semua proses tiwah dan warga kembali ke kehidupannya masing-masing. Foto-foto tiwah di Tumbang Liting bisa dilihat di sini. {ST}
Baca juga:
Sandung, Tempat Tulang Leluhur
Ayam Korban dan Tangisan
Baca juga:
Sandung, Tempat Tulang Leluhur
Ayam Korban dan Tangisan