Dalam menghadapi banjir di Jakarta akhir-akhir ini, saya
turut mengambil bagian dalam tim tanggap darurat di gereja saya, GKI Kwitang. Saya
tidak memiliki pengalaman ataupun pengetahuan yang cukup memadai tentang ini.
Karena itu, saya hanya melakukan hal-hal yang saya bisa. Memang kurang
sempurna, tapi mendingan lah…daripada gak ngapa-ngapain.
Ibu-ibu di gereja saya turut membuat nasi bungkus bagi
jemaat kami yang terkena banjir. Beberapa ratus nasi bungkus diolah di gereja
kami yang mendadak jadi dapur. Saya pun turut membantu menjadi pembagi telur
dadar. Tugas ini cukup mudah, tinggal menyendokkan sepotong telur dadar ke nasi
yang sudah di dalam bungkus kertas. Untuk potongan telur yang kecil atau
terlalu tipis, boleh ditambahkan lagi.
Setelah nasi bungkus mencapai angka 500, kami pun
menghentikan kegiatan membungkus nasi. Nasi-nasi bungkus itu sudah waktunya
dikirimkan ke daerah Kapuk Muara dan Tegal Alur. Makanan sisanya ditinggalkan
untuk dimakan beberapa relawan yang sudah datang sejak subuh.
Ternyata, makanan yang ditinggalkan itu jauh lebih banyak
dari cukup. Sebaskom besar nasi tentu saja tidak dapat dihabiskan oleh beberapa
gelintir orang yang tertinggal. Akhirnya, kami pun membungkus-bungkus makanan
itu. Menunya memang sudah tak lagi selengkap nasi bungkus sebelumnya.
Takarannya pun tidak seperti standar sebelumnya. Kadang lebih sedikit, kadang
lebih banyak.
Saya, yang sebelumnya hanya bertugas sebagai pembagi
telur dadar, kali ini turut mencoba menyendokkan nasi ke dalam kertas
bungkusan. Dengan percaya diri saya melipat kertas bungkus, setelah sebelumnya
melihat contoh yang dikerjakan oleh orang sebelah saya. Dengan percaya diri
pula saya meletakkan nasi hasil bungkusan saya ke kelompok nasi-nasi bungkus.
Namun, kepercayaan diri saya mendadak luntur ketika saya
melihat hasil nasi bungkus saya di antara nasi-nasi bungkus lainnya. Ukurannya
sangat berbeda. Nasi hasil bungkusan saya ukurannya kecil mungil.
“Nasi bungkusnya kok kecil, ya?” saya bertanya-tanya
sendiri. Ternyata pertanyaan itu tak hanya di dalam hati, terungkap pula dari
mulut saya. Orang-orang yang mendengar segera mengamati hasil pekerjaan saya.
“Nasi bungkusnya tergantung porsi makan,” kata seseorang
yang turut mendengar pertanyaan saya.
Mungkin juga, ya…Saya mengambil nasi sesuai dengan porsi
makan saya yang memang tidak terlalu banyak itu. Jadinya, tentu saja lebih
kecil dibandingkan dengan ukuran “normal”. Nasi-nasi bungkus sebelumnya bahkan
lebih besar lagi. Sengaja dibuat nasinya banyak, karena nasi bungkus itu
kemungkinan ada yang untuk 2 kali makan. {ST}