Pada
akhir tahun 2016, terjadi banjir besar di Bima, Nusa Tenggara Barat. Banjir ini
membuat warga kota itu sangat menderita. Banjir besar ini merusak banyak
fasilitas umum dan juga tempat tinggal warga. Banyak warg ayang terpaksa
mengungsi karena tempat tinggalnya tak layak lagi untuk ditempati.
Peristiwa
banjir ini tidak terlalu banyak diberitakan. Entah karena letaknya yang jauh
dan jauh pula dari jangkauan para reporter, atau mungkin juga beritanya kalah
pamor dengan berita lain. Pada saat yang sama, di ibu kota negara, berlangsung
pula sidang dugaan penistaan agama.
Banjir
di Kota Bima ini tidak hanya terjadi sekali. Dalam pantauan saya ada 2 kali
banjir besar melanda daerah yang sama. Daerah yang semula porak poranda, sudah
terlanda banjir lagi tanpa memiliki kesempatan untuk pulih. Banjir dan genangan
air itu pun kemudian membuat daya dukung tanah semakin lemah. Beberapa bidang
tanah longsor, yang kemudian menjadi bencana baru.
Dapat
dikatakan Kota Bima tertimpa bencana bertubi-tubi, namun tetap saja perhatian
media tidak tertuju ke sana. Bencana ini seakan terlupakan. Tak banyak pula
yang membuka saluran bantuan untuk bencana ini. Kalaupun ada, bantuan yang
diberikan tidak sebanyak di tempat lain yang nama daerahnya lebih terkenal.
Pemerintah
tentunya berusaha memberikan bantuan dan juga pertolongan yang dibutuhkan.
Bantuan yang diberikan oleh pemerintah itu tidak selalu memadai. Kadang kala
bantuan itu kurang, sehingga masih banyak yang harus menderita. Perlu bantuan
tambahan yang biasanya dapat dihimpun dari swadaya masyarakat. Nah, kali ini
tidak terlalu banyak masyarakat yang ikut memikirkan bencana yang terjadi di
Bima itu. Mungkin karena kurang publikasi, atau juga karena kurang peduli. {ST}