Salah satu makanan kesukaan saya adalah bakmi jowo. Bakmi ini biasanya
disajikan dengan 3 macam varian yaitu godog (kuah), goreng, dan nyemek. Nyemek
itu adalah perbatasan antara kuah dan kering, bisa diartikan basah-basah
kering, atau bisa juga kering-kering basah. Saya lebih suka bakmi jowo yang
digodog.
Ciri
khas lainnya adalah cara memasaknya yang menggunakan tungku kayu. Biasanya
penjual bakmi godog hanya punya 1 tungku, atau paling banyak 2. Dengan jumlah
tungku yanag terbatas, tentunya memasak pesanan harus bergiliran. Menanti
pesanan bakmi jowo adalah suatu seni tersendiri.
Salah
satu bakmi jowo yang rasanya cocok dengan selera saya adalah bakmi jowo Tukiyo.
Bakmi jowo ini dijual di depan Pasar Sambilegi, di jalan Solo, Jogja. Pelataran
pasar menjadi ruang makan bagi pembelinya. Pak Tukiyo menyediakan 2 buah meja
dengan kursi panjang. Selain itu ada juga beberapa tikar di emperan untuk duduk
lesehan.
Saya
sebenarnya baru pertama kali mencoba bakmi jowo di Pasar Sambilegi ini.
Biasanya, bila berkunjung ke Jogja, saya lebih sering mempercayakan menu bakmi
jowo pada “merk jadul”, penjual bakmi jowo yang sudah terkenal sejak jaman
eyang saya masih hidup. Bakmi Jowo Tukiyo direkomendasikan oleh salah seorang
sepupu saya, orang Jogja yang sekarang tinggal di Bali.
Kesabaran
adalah hal yang mutlak diperlukan bila mau menikmati bakmi jowo yang asli.
Tungku yang hanya 1 itu harus digunakan bergantian. Saat itu, pesanan saya ada
di nomor 7 sedangkan yang lagi dimasak masih nomor 2. Wah, kalau dirasakan,
waktu akan bertambah lama. Bersyukur juga karena saat itu saya datang berdua,
jadi bisa sambil ngobrol. Saya juga membawa aneka gadget untuk memotret dan
memantau dunia maya.
Penantian
itu tidak sia-sia. Bakmi godog berkuah itu datang dengan aromanya yang
menggugah selera. Rasanya juga sedap, sama menggugah seperti aromanya. Bakmi
dan kuahnya benar-benar saling melengkapi menjadi bakmi godog super yummy. {ST}