Ketika
diminta untuk menyumbangkan pakaian layak pakai, umumnya orang-orang (termasuk
saya) akan memilih dan memilah pakaian di lemarinya sendiri. Pakaian-pakaian
itu akan dipilih yang sudah tidak digunakan lagi. Dari situ, barulah
ditimbang-timbang apakah pakaian tersebut layak pakai atau tidak. Ada pula yang
melewatkan proses menimbang kelayakan pakainya. Pakaian yang tidak terpakai
itulah yang disumbangkan.
Khotbah
seorang pendeta membuka kesadaran baru. Pakaian layak pakai itu tidak selalu
merupakan pakaian bekas. Pakaian baru juga adalah pakaian layak pakai. Hal ini
tentu saja jarang terpikir ketika mendengar kata “sumbangan”. Sumbangan selalu
saja mengesankan pada orang yang berkekurangan. Orang yang diberikan barang
bekas pun sudah bersyukur. So, mengapa pula memberikan barang yang baru?
Rasa
pantas dan tidak pantasnya pemberian kita pada sesama tergantung pada cara
pandang kita terhadap sesama. Ketika memberikan kepada orang yang dihormati
atau disayangi, tentunya kita akan memberikan yang terbaik, sesuatu yang baru.
Lain halnya bila kita memandang diri kita lebih tinggi, kita akan memberikan
yang KW1, tingkatan di bawah yang terbaik. Bahkan, kadang-kadang KW5, kualitas
yang sangat jauh dari baik.
Dalam
kesempatan itu, sang pendeta mengingatkan dan juga menantang pendengarnya untuk
memberikan pakaian layak pakai yang baru dalam rangka Natal tahun 2013 ini.
{ST}