Sepanjang sejarah Indonesia (atau
sebelumnya Hindia Belanda), penduduk negeri ini sangat sering diadu domba.
Pengadu dombanya adalah orang-orang yang dijuluki dengan penjajah. Mereka
mengadu domba untuk memecah belah persatuan dan kemudian mengambil keuntungan
dari perpecahan itu.
Keberagaman
budaya di daerah yang sangat luas ini memang menimbulkan perbedaan. Perbedaan
itu, yang kadang-kadang tidak terlalu prinsip, menjadi hal besar ketika
berhadapan dengan kepentingan lain yang mau mencari untung sendiri.
Memanas-manasi atau mengompori membuat salah satu pihak menjadi panas dan
merasa melakukan hal yang benar ketika menumpas pihak lainnya.
Indonesia,
negara kepulauan super luas yang memiliki banyak kebudayaan ini memang sangat
rentan akan perseteruan akibat beda pendapat. Hal baik di satu tempat belum
tentu dianggap baik di tempat lain. Itu baru tentang ahl baik, kalau hal tidak
baik, lebih banyak masalah lagi.
Suasana
panas bertambah panas ketika ada pihak lain yang mengipasi di tengah-tengahnya.
Pihak ini kadang-kadang mengaku sebagai penengah. Bener juga sih penengah.
Mereka berada di tengah-tengah. Bisa memihak ke kiri atau ke kanan. Bisa juga
mengipasi yang di kiri atau yang di kanan. Tergantung ke mana peluang datang.
“Tradisi”
menjajah untuk mengadu domba dan menanamkan perbedaan untuk memecah belah
persatuan kita sudah tertanam ratusan tahun. Walaupun tahu akibatnya tidak baik
tapi masih cukup bnayak yang merasa perlu untuk melestarikannya. Kesombongan
antar golongan dan antar suku mengemuka ketika ada pertentangan dan gesekan.
Perdamaian dan musyawarah menjadi dikesampingkan.
Ketika
negeri ini merdeka, pengadu domba masih ada. Bentuknya bukan lagi para penjajah
bule ataupun dari Jepang. Bentuknya hampir sama saja seperi warga negara biasa.
Orang-orang yang mengambil kepentingan dari adu domba itu hampir tidak bisa
dibedakan dengan warga biasa. Niatnya pun kadang-kadang terkesan baik. {ST}