Perteguhan
adalah sebuah desa tak jauh dari Gunung Sinabung. Dari tempat ini, kita dapat
melihat Gunung Sinabung di kejauhan. Melihat letusan Gunung Sinabung adalah
adalah kegiatan yang dilakukan di tempat ini di awal tahun 2014. Banyak orang
berkumpul di sana dan terlihat seperti
berekreasi. Itu pulalah yang saya lakukan ketika berkunjung ke sana pada bulan
Januari 2014 yang lalu.
Kami pergi ke Perteguhan setelah
makan malam. Perjalanan ke desa yang sebetulnya jaraknya tidak jauh itu terasa
lama karena jalan macet. Iya betul! Macet seperti di Jakarta. Jumlah kendaraan
dan orang di tempat ini sangat banyak. Jumlahnya jauh lebih banyak dari yang
bsia ditampung oleh jalan kecil pedesaan itu.
Kemacetan itu makin bertambah parah
dengan adanya hujan abu dari Gunung Sinabung. Hujan abu ini membuat pandangan
jadi terbatas. Tidak hanya terbatas karena udara terlihat berkabut, tapi juga
karena debu itu membuat pedih mata ketika tak sengaja masuk. Itu masih belum ditambah
dengan orang banyak yang berdesakan. Pokoknya suasana di situ riuh seperti
pasar.
Suasana pasar makin bertambah dengan
banyaknya orang yang berjualan. Minuman hangat dan jagung bakar menjadi teman
bagi masyarakat yang sednag menonton letusan gunung itu. Ada juga yang menjual
makanan instan dan camilan lainnya.
Kebanyakan orang yang datang,
termasuk rombongan kami, adalah orang –orang yang penasaran melihat letusan
Gunung Sinabung. Gunung yang letusannya nyicil sedikit-sedikit ini memang
jarang memeperlihatkan lava membara. Debu vulkanik yang menyembur dan kemudian
jatuh seperti hujan adalah pemandangan yang paling sering disuguhkan. Beberapa
orang yang hampir seumur hidupnya tinggal di dekat situ bahkan belum pernah
melihat langsung lavanya yang membara, apalagi saya.
Saya termasuk orang yang antusias
dan penasaran untuk ikut melihat. Macet dan berdesakan bukan halangan bagi saya
untuk mencapai jarak aman paling dekat ke gunung. Awalnya, saya berjalan cukup
cepat ke tempat yang dituju. Lama-lama, saya memperlambat langkah mengikuti
langkah rombongan kami yang terdiri dari beberapa kelompok umur.
Kami sampai di sebuah tanah lapang
yang sudah berubah bentuk menjadi kumpulan orang. Orang-orang ini melihat ke
arah yang sama, ke arah sang gunung yang sedang memuntahkan lava membaranya.
Setiap kali ada bara yang keluar, orang beramai-ramai berseru dan
menunjuk-nunjuk ke arah itu. Pertunjukan itu diiringi dengan hujan abu yang
makin lama makin lebat.
Abu vulkanik itu makin lama makin
menyiksa saya. Butiran yang nyangkut di kacamata mengganggu pandangan. Butiran
itu tidak mudah untuk dibersihkan. Butiran lainnya yang jatuh di rambut membuat
rambut terasa berat dan agak lengket. Saya sampai berimajinasi kalau saya
berwarna abu-abu seperti patung semen. Untuk urusan napas, sudah tidak perlu
ditanya lagi. Walaupun sudah mengenakan masker, tetap tidak bisa bernapas
dengan lega.
Ternyata, yang merasa tersiksa tidak
hanya saya. Beberapa anggota rombongan bahkan ada yang merasa sangat tersiksa
sampai ngambek. Kami akhirnya pulang setelah orang paling tua dalam rombongan
kami sudah tidak tahan lagi dengan debunya yang makin lama makin tebal itu. {ST}