Ana

Minggu, 01 September 2019

Terong Belanda


            Saat mendengar kata “terong belanda” yang ingat adalah minuman berbentuk sirup. Sirup terong belanda cukup terkenal sebagai kuliner khas Indonesia. Rasanya manis asem sekaligus segar, apalagi kalau ditambah dengan es. Saya cukup suka, kok, rasanya. Saya pernah dengan sengaja membeli sebotol sirup rasa terong belanda ini.
            Saya pernah penasaran dengan bentuk terong belanda, dan mengapa namanya ada “belanda” nya. Saya belum pernah melihat buah ini pada masa kecil saya di Kalimantan. Buah ini pun tidak pernah saya temukan di Jakarta. Bentuk buahnya hanya saya kenal dari foto yang saya temukan di dunia maya.
            Terong belanda pertama kali saya lihat saat saya ke Toraja. Tumbuhan terong belanda ini tumbuh bebas di pegunungan yang terletak di Sulawesi Selatan itu. Seorang ibu memberikan buah itu kepada saya saat melihat saya sangat senang melihat buah itu.
            “Ambil saja itu buahnya,” kata ibu itu sambil menyodorkan 2 buah terong belanda.
            “Rasanya bagaimana? Saya cuma pernah merasakan sirupnya,” ujar saya,
            “Coba aja,” sahutnya santai.
            Saya pun mencoba buah itu. Saya membelahnya menjadi 2 bagian dan mencoba rasanya. Rasanya asem sekali, hampir tidak bisa dinikmati. Menurut ibu yang memberikan saya buah itu, buah yang saya makan itu belum matang. Kalau matang rasanya agak manis. Biasanya yang suka makan buah itu ibu-ibu hamil yang sedang ngidam. Saya mengangguk-angguk mengerti.
            Pengalaman memakan terong belanda itu tidak terlupakan. Saya berkali-kali menyampaikan ke ibu itu kalau ini adalah kali pertama bagi saya melihat buah itu. Ibu itu kemudian mengajak saya keluar ke kebunnya. Dari kebun itu ia memetik beberapa buah terong belanda langsung dari pohonnya. Pohon terong belanda agak mirip dengan terong. Pohon itu juga mengingatkan saya pada rimbang, terong yang rasanya asam yang sering dijadikan bahan makanan khas Dayak.
            Ibu itu memberikan cukup banyak buah. Saya yang awalnya senang lama-lama jadi bingung sendiri karena bingung akan diapakan buah itu. Buah itu tidak bisa dimakan sebagai camilan. Mau dibawa pulang juga agak repot karena buah itu diberikan oleh seorang ibu di Tana Toraja, sementara saya tinggal di Jakarta. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini