Kemarin
pagi saya menghadiri acara formal yang dihadiri oleh orang-orang yang cukup
terhormat di negeri ini. Acara itu dibuat dalam sebuah ruangan besar dengan
meja-meja bundar di dalamnya. Di meja-meja itu diberi tulisan siapa saja yang
berhak duduk di tempat itu, ada yang untuk VIP dan juga undangan “biasa”. Saya
termasuk undangan “biasa” itu. Demikian pula seorang pria muda yang sudah lebih
dulu di situ.
Tak
lama kemudian, datanglah sepasang suami istri yang sudah terlihat tua. Kedua
orang itu juga ingin duduk bersama di meja kami. Tentu saja kami mengizinkan
karena beberapa kursi yang ada di situ memang kosong. Yang tidak saya sangka,
si ibu tua itu meminta si anak muda yang sudah duluan duduk untuk pindah.
Dengan sikapnya yang sama sekali tidak menghargai itu sebenarnya sudah dapat
dikatakan mengusir.
Dari
meja sebelah, si anak muda yang terusir itu duduk bersama dengan ibunya. Ibunya
tidak kalah tua dengan ibu yang mengusirnya. Melihat itu, saya jadi prihatin.
Keprihatinan saya itu saya sampaikan kepadanya saat kami bertemu lagi. Dia
mengatakan kalau dia bisa memaklumi kecerewetan si ibu tua itu.
“Kasih
aja buat yang lebih tua. Lagian masih ada tempat duduk lain,” katanya.
Saya
mengangguk-angguk saja mendengar ucapannya itu. Iya memang benar masih ada
tempat duduk lain di situ. Kalau seandainya tidak ada tempat lain, mungkin akan
lain ceritanya. Apalagi ibunya sendiri juga sudah tua.
Setelah
hampir dua jam lamanya bersama si ibu tua pengusir itu, saya lebih dapat
memaklumi mengapa si anak muda itu memberikan tempat duduknya. Ibu tua itu
berbicara tanpa henti. Sebagian topik pembicaraannya ngomongin orang. Saya
tidak betah mendengarnya. Saya sempat “melarikan diri” sejenak sebelum kembali
lagi ke tempat semula. {ST}