Ana

Jumat, 28 Juni 2019

Bus Berasap yang Asapnya Berasal dari APAR




            Pagi ini bus Transjakarta yang saya tumpangi berasap. Saya tidak tahu sumbernya dari mana. Yang jelas asapnya putih dan membuat sesak napas. Tidak ada aroma terbakar atau hangus. Tentunya itu membuat sedikit lega. Asap itu, konon kabarnya, berasal dari APAR. Entah bagaimana caranya mengapa alat itu mengeluarkan isinya.
            Saya sangat terganggu dengan asap yang cukup tebal itu. Napas saya menjadi sesak. Saya pun berjalan ke arah pintu yang memang dibuka semua untuk menghilangkan asap. Saat pintu depan dibuka, saya juga mencoba untuk turun.
            “Tidak apa-apa, itu cuma asap APAR,” kata seseorang entah siapa. Saya tidak dapat melihat orang itu dengan jelas karena asap.
            “Saya mau turun di sini saja,” sahut saya juga entah pada siapa.
            Beberapa orang lain juga memilih turun dari bus seperti saya. Kami mengantre keluar melalui pintu depan. Nah, saat mau keluar ini, ibu yang berada di depan saya galau. Ia masih ragu-ragu apakah ikut turun atau tetap menumpang bus itu.
            “Katanya enggak terbakar, kok,” ucapnya pada saya.
            Dapat dikatakan saya agak mengabaikan ibu itu. Sambil mendorongnya sedikit, saya berkata, “Permisi, Bu. Saya mau turun,” ujar saya.
            Ibu berbadan besar itu menggeser sedikit badannya supaya saya bisa lewat, tetapi dia tidak beranjak dari pintu itu. Badannya yang besar menutupi lubang pintu dan menghalangi orang lain yang mau lewat. Kegalauan ibu ini membuat konflik baru karena banyak orang yang keberatan dengan keberadaannya di depan pintu itu. Ada beberapa orang yang menegurnya, bahkan ada yang sampai dapat dikategorikan sebagai memaki-maki.
            Berbeda dengan saya, saya sudah mantap menentukan pilihan untuk turun dari bus itu dan berganti kendaraan lain saja. Saya tetap akan mengambil pilihan ini walaupun kabarnya bus ini tidak terbakar. Saya memilih menghirup udara yang lebih segar daripada berkutat di  dalam bus penuh asap itu.
            Setelah turun dari bus itu, saya berjalan ke halte bus terdekat. Di depan saya ada beberapa penumpang lain yang sebelumnya menumpang bus yang sama dengan saya. Beberapa dari mereka meminta untuk dapat masuk ke halte tanpa membayar karena mereka turun ke jalan. Tampaknya permintaan itu tidak langsung dikabulkan. Ada perdebatan tentang pengalihan penumpang dan penumpang baru di halte. Saya lebih memilih untuk tap kartu yang artinya membayar tarif baru daripada terlibat dalam perdebatan itu.
            Setelah masuk ke dalam halte, saya  mengadukan hal ini langsung ke media sosial Transjakarta. Saya agak prihatin dengan keputusan pengemudi yang tetap menjalankan bus walapun berasap tebal seperti itu. Kelayakan kendaraan tentunya tidak hanya mesinnya saja, tetapi juga udara yang ada di dalamnya. Asap yang berasal dari “cuma APAR” itu cukup mengganggu pernapasan., tidak aman dan tidak nyaman bagi penumpang. Semoga hal yang seperti ini tidak terulang lagi. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini