Pagi
ini bus Transjakarta yang saya tumpangi berasap. Saya tidak tahu sumbernya dari
mana. Yang jelas asapnya putih dan membuat sesak napas. Tidak ada aroma
terbakar atau hangus. Tentunya itu membuat sedikit lega. Asap itu, konon
kabarnya, berasal dari APAR. Entah bagaimana caranya mengapa alat itu
mengeluarkan isinya.
Saya
sangat terganggu dengan asap yang cukup tebal itu. Napas saya menjadi sesak.
Saya pun berjalan ke arah pintu yang memang dibuka semua untuk menghilangkan
asap. Saat pintu depan dibuka, saya juga mencoba untuk turun.
“Tidak
apa-apa, itu cuma asap APAR,” kata seseorang entah siapa. Saya tidak dapat
melihat orang itu dengan jelas karena asap.
“Saya
mau turun di sini saja,” sahut saya juga entah pada siapa.
Beberapa
orang lain juga memilih turun dari bus seperti saya. Kami mengantre keluar
melalui pintu depan. Nah, saat mau keluar ini, ibu yang berada di depan saya
galau. Ia masih ragu-ragu apakah ikut turun atau tetap menumpang bus itu.
“Katanya
enggak terbakar, kok,” ucapnya pada saya.
Dapat
dikatakan saya agak mengabaikan ibu itu. Sambil mendorongnya sedikit, saya
berkata, “Permisi, Bu. Saya mau turun,” ujar saya.
Ibu
berbadan besar itu menggeser sedikit badannya supaya saya bisa lewat, tetapi
dia tidak beranjak dari pintu itu. Badannya yang besar menutupi lubang pintu
dan menghalangi orang lain yang mau lewat. Kegalauan ibu ini membuat konflik
baru karena banyak orang yang keberatan dengan keberadaannya di depan pintu
itu. Ada beberapa orang yang menegurnya, bahkan ada yang sampai dapat
dikategorikan sebagai memaki-maki.
Berbeda
dengan saya, saya sudah mantap menentukan pilihan untuk turun dari bus itu dan
berganti kendaraan lain saja. Saya tetap akan mengambil pilihan ini walaupun
kabarnya bus ini tidak terbakar. Saya memilih menghirup udara yang lebih segar
daripada berkutat di dalam bus penuh
asap itu.
Setelah
turun dari bus itu, saya berjalan ke halte bus terdekat. Di depan saya ada
beberapa penumpang lain yang sebelumnya menumpang bus yang sama dengan saya.
Beberapa dari mereka meminta untuk dapat masuk ke halte tanpa membayar karena
mereka turun ke jalan. Tampaknya permintaan itu tidak langsung dikabulkan. Ada
perdebatan tentang pengalihan penumpang dan penumpang baru di halte. Saya lebih
memilih untuk tap kartu yang artinya membayar tarif baru daripada terlibat
dalam perdebatan itu.
Setelah
masuk ke dalam halte, saya mengadukan
hal ini langsung ke media sosial Transjakarta. Saya agak prihatin dengan
keputusan pengemudi yang tetap menjalankan bus walapun berasap tebal seperti
itu. Kelayakan kendaraan tentunya tidak hanya mesinnya saja, tetapi juga udara
yang ada di dalamnya. Asap yang berasal dari “cuma APAR” itu cukup mengganggu
pernapasan., tidak aman dan tidak nyaman bagi penumpang. Semoga hal yang
seperti ini tidak terulang lagi. {ST}