Ana

Senin, 11 Maret 2019

Buku: Rahasia Salinem




            Buku Rahasia Salinem ini saya kenal dari linimasa Twitter. Sampul buku ini berkeliaran hampir setiap hari di awal tahun 2019 ini. Ceritanya sendiri awalnya disajikan dalam versi online dalam jangka waktu tertentu. Rupanya banyak orang yang membacanya kemudian membagikan kesannya di linimasa Twitter. Banyak pembacanya yang mengaku sebagai “cucunya Mbah Nem”.
            Saya yang awalnya tidak terlalu memberi perhatian, lama-lama jadi ikut menyimak. Saya akhirnya memutuskan untuk memesan buku Rahasia Salinem versi cetak karena saya juga memang lebih suka membaca buku dalam bentuk cetakan. Buku cetak ini dilengkapi juga dengan tanda tangan kedua penulisnya. Akhirnya di buku itu ada 3 buah tanda tangan. Yang satu lagi tanda tangan pemiliknya yang baru, inisialnya ST.
            Cerita yang diawali dengan wafatnya Mbah Nem itu membuka kisah lama dari perempuan tua yang dicintai oleh keluarganya itu. Keluarga yang selama ini tinggal bersamanya ternyata bukanlah keluarga kandungnya. Salinem mencintai keluarga itu dengan sepenuh hati, bahkan dapat dikatakan mengorbankan dirinya sendiri. Seperti yang dikatakan oleh banyak pembaca lain, cinta Salinem memang bukan cinta biasa.
            Saya membaca buku ini hanya dalam waktu 2 hari. Ceritanya mengalir dan mudah dicerna. Ceritanya yang membuat penasaran membuat saya tidak meletakkan buku ini selama beberapa jam. Selain membacanya di rumah, saya juga membawanya dalam tas saya dalam perjalanan. Saya membaca buku ini saat sedang terjebak kemacetan di jalanan Jakarta. Sampai-sampai rasanya agak menyesal saat pengemudi mobil yang saya tumpangi menyampaikan kabar kalau sudah sampai di tujuan. Yang artinya saya harus menghentikan sementara kegiatan membaca buku Rahasia Salinem.
Merasa Terhubung
            Saya merasa terhubung dengan cerita Mbah Salinem ini. Sejak sebelum membacanya, saya sudah membayangkan kalau Mbah Nem adalah seorang perempuan tua berpakaian kebaya dan kain panjang, khas embah-embah di daerah Jawa Tengah. Ternyata memang seperti itulah deskripsi Mbah Salinem. Sosok perempuan ini mengingatkan saya pada Mbah Jo. Seperti Mbah Nem, Mbah Jo adalah orang yang membantu keluarga kami selama bertahun-tahun dan sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri.
            Keterkaitan dengan cerita ini semakin kuat saat selesai membacanya. Kesamaan Mbah Nem dan Mbah Jo tidak hanya pada statusnya yang bukan keluarga tetapi dianggap sebagai keluarga. Almarhumah Mbah Jo juga kehilangan pasangannya tak lama setelah kejadian tahun 1965. Mbah Jo kehilangan suaminya yang saat itu dinyatakan hilang atau “dihilangkan”.
            Jo sendiri sebenarnya adalah nama suaminya itu. Namanya Arjo …. (saya lupa nama lengkapnya). Saya juga tidak ingat nama asli Mbah Jo. Dia juga tidak pernah mengingat-ingat namanya dan melarang kami menyebutkannya. Katanya nama aslinyanya nama biasa seperti kebanyakan rakyat jelata.  O ya, satu lagi yang saya ingat, katanya kalau perempuan sudah bersuami, dia akan dipanggil dengan nama suaminya. Mbah Jo tidak pernah menikah lagi dan tetap menggunakan nama suaminya sampai akhir hayatnya.
            Salinem yang hidup di zaman perjuangan kemerdekaan juga mengingatkan pada nenek saya yang kami panggil dengan sebutan Eyang. Eyang juga pernah membantu perjuangan kemerdekaan bangsa kita dengan menyelundupkan senjata. Saya beruntung pernah mendengar cerita ini langsung dari Eyang. Matanya terlihat sangat bersemangat menceritakan petualangannya di hutan yang ada kutu busuknya itu. Yeah… Mungkin ada hewan-hewan lain juga, sih, yang diceritakan Eyang. Akan tetapi yang paling saya ingat kutu busuknya. Saat mendengarkan cerita itu, saya belum pernah melihat kutu busuk secara langsung.
            Seperti Salinem, Eyang juga terlibat cinta lokasi dengan seorang pejuang pembela Tanah Air. Namun, kisah Eyang tidak berakhir seperti Salinem dan Parjo. Eyang saya jadian dengan si pemuda pejuang yang tampan dan gagah itu (ini beneran, bukan sekedar lebay). Mereka punya 5 orang anak dan 14 orang cucu. Saya salah satu cucunya. Kemiripan cerita ini juga membuat saya juga merasa menjadi “cucunya Mbah Nem”.
Persahabatan
            Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran. Kalimat yang dikutip dari Amsal 17:17 ini sangat cocok untuk menggambarkan cerita Salinem dan Kartinah. Mereka menjadi saudara dalam kesukaran dan menaruh kasih setiap waktu.
            Selain merasa terhubung dengan kisah tokoh-tokohnya, nilai-nilai persahabatan inilah yang membuat saya sangat terkesan pada buku Rahasia Salinem. Persahabatan Salinem, Soeratmi, dan Kartinah adalah sesuatu yang sangat berharga. Apalagi pada saat itu, perbedaan kelas sangat terasa. Zaman sekarang saja masih ada, kok, yang membeda-bedakan orang berdasarkan keturunan dan juga harta bendanya. Apalagi di saat seperti itu, di mana para keturunan bangsawan sudah pasti menjadi orang yang dilayani.
            Persahabatan ketiga orang ini teruji dalam perjalanan waktu. Salinem, yang hidupnya dapat dikatakan paling menderita, dapat menghadapi segala ujian kehidupan itu bersama dengan teman-temannya. Salinem juga memberikan kekuatan dan penghiburan bagi sahabatnya yang sedang susah. Keberadaannya di dunia memberi arti pada sesamanya.
            Saat menutup halaman terakhir buku ini, saya menduga akan ada kelanjutan dari novel yang memiliki lagu latar ini. Entah berupa buku lanjutan, film, atau warung pecel seperti dalam cerita. Sepertinya saya akan terus mengikuti perkembangan Mbah Salinem bersama dengan cucu-cucunya yang lain. Saya juga merekomendasikan buku ini kepada orang-orang yang saya kenal dan kepada siapa saja yang nyasar ke blog ini. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini