Bulan
Maret 2019 diramaikan oleh berita tentang MRT. Mass rapid transit, yang dalam
bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi moda raya terpadu itu akhirnya dapat
beroperasi. Selama masa uji coba pada bulan Maret ini masyarakat boleh mencoba
alat transportasi masal ini tanpa biaya. Walaupun tanpa biaya, calon penumpang
tetap harus mendaftar secara daring.
Masa
uji coba ini digunakan oleh masyarakat semua kalangan yang penasaran dengan
angkutan massal itu. Ada yang belum pernah sama sekali menaiki moda transportasi
seperti ini. Ada juga kalangan menengah atas yang sudah pernah menaiki moda
transportasi ini di negara lain.
Saya
bersyukur dapat merasakan uji coba MRT ini lengkap dengan pemandunya.
Pemandunya tidak hanya dari pengelola MRT, pengelola Transjakarta juga ikut
memandu. Kedua moda transportasi yang beroperasi di Jakarta itu memang
direncanakan untuk berintegrasi. Saat ini memang belum banyak yang
terintegrasi. Akan tetapi sudah ada awal baik untuk integrasi transportasi ini.
Pada
saat uji coba itu, kartu elektronik untuk memasuki stasiun belum diberlakukan.
Mesin-mesin untuk kartu mandiri itu juga belum ada yang berfungsi. Baru kereta
dan stasiunnya saja yang dapat berfungsi. Stasiun dan kereta inilah yang
menjadi tujuan dari rasa penasaran masyarakat. Ada banyak foto-foto yang
beredar di media sosial, dari yang semacam turis biasa sampai yang noraknya
luar biasa. Saya termasuk yang norak level sedang he he he….
Ada
beberapa pose yang mengundang reaksi warganet. Antara lain ada yang berdiri di
jok tempat duduk. Ada yang senam di ring pegangan. Ada juga yang piknik di
stasiun. Selain itu ada juga yang buang sampah sembarangan. Banyak, deh. Saya,
sih, lebih mencari foto-foto bentuk keretanya. Foto-foto jenis ini tidak saya
temukan di linimasa media sosial saya. Akhirnya saya memotretnya sendiri.
Pada
kesempatan uji coba itu, saya mencoba rute Bundaran HI ke Lebak Bulus. Kedua
stasiun ini adalah ujung dari rute perjalanan MRT. Saya memang sengaja ingin
mencoba rute terjauh dan paling ujung untuk merasakan pengalaman lengkap.
Saat
mengantre masuk, pengunjung yang ada saat itu terlihat cukup tertib mengantre.
Hanya beberapa kali para petugas menegur orang yang keluar dari batas antrean.
Kami menanti sekitar 10 menit sampai akhirnya gerbong yang kami nantikan tiba.
Saya mengabadikan beberapa momen dari saat antre, pintu kereta membuka, sampai
berada di dalam gerbong.
Sebagai
orang yang antre paling depan, saya sebenarnya mendapatkan kesempatan untuk
duduk di dalam gerbong itu. Namun, saya memilih untuk berdiri karena ingin
melihat ke jendela, ke arah luar. Apalagi saat itu ada beberapa orang yang
lebih tua dari saya. Ada seorang om dan dua orang tante yang masuk tak laam
setelah saya. Akhirnya saya berdiri di dekat mereka duduk.
Keinginan
saya untuk melihat dunia luar awalnya agak mengecewakan. MRT yang dijalankan di
dalam terowongan itu tidak dapat memperlihatkan pemandangan yang indah.
Pemandangannya hanya tembok dan beberapa kali terlihat kegelapan. Saya akhrinya
mengobrol dengan orang-orang di sekitar saya itu. Dari obrolan itu, saya
mengetahui kalau mereka sudah pernah naik MRT sebelumnya, di negara lain
tentunya.
“Biasa
aja, sih. Kaya di Singapur,” kata seorang ibu yang tampaknya pernah berkunjung
ke Singapura.
“Tapi
kalau di sana, kan, kita tamu. Ini rumah kita sendiri,” tanggap saya.
“O
iya, bener. Ini rumah kita sendiri,” sahutnya lagi dengan wajah tersenyum
bangga.
Salah
seorang dari kenalan baru saya itu bahkan tinggalnya di luar negeri. Ia datang
ke Indonesia untuk urusan bisnis. Kesempatan ini ia pergunakan untuk mencoba
menaiki MRT. Walaupun pembangunan di Indonesia cukup ketinggalan dibandingkan
dengan negara lain, bapak itu tidak dapat menyembunyikan kebanggaannya pada
langkah maju transportasi di Indonesia ini.
Kami
semua, para penumpang yang baru bertemu saat itu, berharap kalau moda
tranportasi ini membawa dampak baik bagi masyarakat dan lingkungan. Semoga juga
bangsa Indonesia dapat merawat kendaraan ini dengan baik. Masyarakatnya oun
tertib dan saling menghargai. {ST}