Tadi
pagi saya berkunjung ke sebuah sekolah di daerah Bantargebang. Daerah yang
terletak di Bekasi ini merupakan tempat pembuangan sampah akhir dari warga
Jakarta dan sekitarnya. Setiap harinya ada berton-ton sampah yang dikirim ke
tempat ini.
Sekolah
dasar yang saya kunjungi itu memiliki perpustakaan yang bagus. Perpustakaan ini
pengelolaannya bekerja sama dengan sebuah yayasan yang peduli dengan literasi.
Buku-bukunya banyak dan bagus-bagus. Perpustakaan itu juga didukung oleh
seorang staf yang mendukung gerakan literasi.
Saat
saya berkunjung, banyak anak-anak yang datang untuk membaca ke tempat ini.
Buku-buku ini tempat ini tidak boleh dibawa keluar karena dikhawatirkan hilang
atau rusak. Jadi, semua anak yang membaca berkumpul di tempat ini. Ada yang
membaca dengan hening. Ada juga yang membaca dengan bersuara.
“Yang
itu baru bisa membaca pas kelas 4,” ucap staf perpustakaan tersebut.
“Hah?
Kok, bisa?” tanya saya.
Bagi
kebanyakan anak, kelas dan umur selalu berpasangan secara linear. Misalnya anak
yang berusia 7 tahun sudah pasti kelas 1. Anak yang berusia 10 tahun sudah
pasti kelas 4. Itu untuk anak kehidupannya “normal”. Di negara ini, kemampuan
membaca diajarkan di kelas-kelas awal. Kemampuan membaca diajarkan di kelas 1
SD. Bahkan ada juga anak-anak yang sudah diajarkan untuk membaca sebelum
memasuki sekolah dasar. Kalau sudah duduk di kelas 4, membaca bukan lagi
menjadi sesuatu yang pokok. Seharusnya semua anak kelas 4 sudah bisa membaca.
Karena itu saya sangat terkejut ketika mendengar ada anak kelas 4 yang baru
belajar membaca. Lebih mengejutkan lagi karena kejadian itu terjadi tak jauh
dari ibu kota negara ini.
Dari
kunjungan itu, saya baru tahu ada anak yang boleh naik kelas walaupun belum
bisa membaca. Entah apa yang menjadi alasannya. Mungkin karena kepantasan usia.
Entah bagaimana pula caranya anak-anak ini mengikuti pelajaran di kelas.
Dengan
adanya perpustakaan dan taman bacaan di sekolah ini, minat baca anak-anak di
situ meningkat. Anak-anak yang sebelumnya tidak bisa membaca ikut belajar
membaca dan akhirnya menyukai kegiatan membaca. Tentunya ini adalah sesuatu
yang layak disyukuri. Semoga saja makin banyak anak-anak Indonesia yang bisa
membaca dan wawasannya menjadi terbuka. {ST}