Ana

Kamis, 28 Februari 2019

Mengakali Tinggi Anak Kecil




            Ada beberapa fasilitas yang membatasi tinggi badan anak kecil yang menggunakannya. Misalnya kendaraan umum seperti bus, ada batas tinggi badan seorang anak. Anak yang tingginya lebih dari batas itu harus membayar tiket masuk karena asumsinya akan menduduki kursi sendiri. Ada juga yang membatasi tinggi badan karena keamanan. Nah, yang seperti ini biasanya di fasilitas hiburan seperti di Dunia Fantasi.
            Beberapa wahana di taman hiburan ini membatasi tinggi badan orang yang akan menggunakannya. Kalau yang ini karena alasan keamanan. Saya pernah menanyakan tentang hal ini kepada pengelolanya. Alat-alat pendukung keamanan yang digunakan di tempat itu biasanya untuk orang dewasa atau dengan tinggi badan tertentu. Mendengar penjelasan itu, saya turut mendukung pembatasan tinggi badan di wahana wisata itu.
            Yang namanya daerah wisata, biasanya dikunjungi oleh banyak anak-anak. Nah, beberapa dari anak-anak ini ada yang tingginya belum mencapai syarat yang telah ditentukan. Ada yang dapat menerima ketentuan itu, ada juga yang mengambek atau menangis. Kalau saya mengenal anak-anak yang ngambek ini, biasanya saya akan mencoba mengalihkan perhatiannya. Mereka lebih baik tidak menaiki wahana itu dulu karena alasan keamanan.
            Suatu kali, saya berbincang dengan seorang anak berusia sekitar 3 atau 4 tahun. Anak ini bercerita tentang kunjungannya ke Dufan. Ia suka mencoba berbagai macam wahana sampai-sampai ada yang dicobanya sebanyak 5 kali. Saya sangat kagum mendengarnya. Kemudian saya teringat sesuatu, tentang syarat tinggi badan itu.
            “Emangnya tingginya sudah cukup?” tanya saya ingin tahu.
            Pertanyaan itu dijawab oleh orang dewasa yang mendampinginya. Mereka menjelaskan kalau tinggi badan anak itu sebenarnya belum cukup tetapi diakali. Anak itu memakai sepatu yang tinggi haknya sekitar 3 cm dan memakai celana panjang yang menutupi sepatu itu. Saat diukur, anak itu tingginya pas di ambang batas persyaratan. Bermodalkan tinggi badan itulah anak itu menikmati anek wahana yang seharusny belum boleh ia nikmati.
            Mendengar cerita itu, saya mengangguk-angguk bingung. Syukurnya anak itu baik-baik saja. Tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Anak itu juga merasa senang karena dapat menikmati aneka permainan. Saya agak prihatin karena sejak kecil anak itu sudah diperkenalkan dengan ketidakjujuran yang dianggap benar. Semoha saja kelak anak itu tumbuh sebagai anak yang jujur. {ST}

Rabu, 27 Februari 2019

Anak yang Suka Warna Pink, Ketahuan dari Pensil Warnanya




            Kantor saya, sebuah redaksi media anak, sering dikunjungi oleh anak-anak. Anak-anak itu tidak hanya berkunjung. Ada kegiatan lainnya juga yang diselenggarakan oleh teman-teman saya. Kadang-kadang, saya juga ikut terlibat. Kegiatan yang paling sering dilakukan antara lain membuat majalah kecil dan mewarnai.
            Kegiatan-kegiatan anak-anak itu menggunakan pensil warna dan krayon. Biasanya mereka membawa sendiri alat-alat gambar itu. Anak-anak TK kebanyakan membawa krayon. Anak-naka SD lebih sering membawa pensil warna.
            Kali ini saya bertemu dengan seorang anak yang membawa satu set pensil warna. Pensil warna yang dibawa di dalam kotak itu panjangnya berbeda-beda. Yang paling pendek yang berwarna pink. Dengan melihatnya saja, sudah daapt ditebak kalau si anak itu lebih sering menggunakan warna pink.
            “Kamu suka warna pink, ya?” tebak saya.
            “Iya. Kakak, kok, tahu?” tanya anak itu bingung.
            “Tahu, dong,” jawab saya sok tahu.
            Anak itu memandang saya dengan takjub, seakan-akan saya orang hebat karena dapat menebak warna kesukaannya. Saya hanya tersenyum sambil berjalan pergi, meninggalkan anak itu dengan wajah penasaran. {ST}

Selasa, 26 Februari 2019

Bertemu Anak-Anak yang Tidak Bisa Berbahasa Indonesia (Lagi)




            Saya pernah bertemu dengan anak-anak yang tidak dapat berbahasa Indonesia. Saya dan beberapa teman sangat prihatin akan hal ini. Anak-anak itu tinggal di Jakarta, ibu kota Republik Indonesia. Mereka pun warga negara Indonesia tetapi mereka tidak memahami bahasa nasional negaranya.
            Dalam sebuah tulisan saya yang pernah dimuat di blog ini entah kapan, kebanyakan anak-anak itu tidak bisa berbahasa Indonesia karena orang tua mereka memang tidak mengajarkannya. Ada juga yang sehari-harinya memang diajarkan berbicara dengan bahasa Inggris. Beberapa lainnya karena bahasa pengantar di sekolah menggunakan bahasa Inggris. Nah, kalau ini dipadukan dengan kemalasan orang tua untuk mengajarkan bahasa lain, sudah pasti anaknya akan terus-terusan berbahasa Inggris.
            Sebagai bahasa yang paling banyak digunakan di dunia ini, wajar saja apabila ada orang tua yang mengajarkan anaknya berbahasa Inggris. Tentu tujuannya supaya dapat berkomunikasi dalam tingkat internasional. Bahasa Indonesia, apalagi bahasa daerah, dianggap tidak terlalu penting lagi. Toh, cukup dengan satu bahasa saja orang-orang di seluruh dunia sudah dapat mengerti.
            Saat bertemu kembali dengan anak-anak yang tidak dapat berbahasa Indonesia, saya tetap ngotot untuk menggunakan bahasa nasional negara kita ini. Saya tetap membalas dengan ucapan “selamat pagi” saat ada yang menyapa dengan “good morning”. Saya juga memilih tetap mengucapkan “terima kasih” daripada “thank you” atau “thanks”.
            Sekali lagi saya berharap semoga suatu saat nanti bahasa Indonesia dapat memberi pengaruh pada sejarah dunia. Makin banyak orang yang belajar bahasa Indonesia, tidak hanya warga negaranya. Suatu saat nanti, anak-anak yang sekarang tidak bisa berbahasa Indonesia itu akan belajar bahasa Indonesia. {ST}

Senin, 25 Februari 2019

Aroma Sampah Saat Mendekati Bantargebang




            Bantargebang sudah beberapa tahun ini menjadi tempat pembuangan sampah akhir bagi warga yang tinggal di sekitarnya. Waga yang tinggal di sekitarnya itu juga termasuk saya sebagai warga Jakarta.
            Sebelumnya saya sudah pernah ke tempat pembuangan sampah akhir ini untuk acara bakti sosial gereja. Salah satu yang paling saya ingat dari tempat ini adalah aromanya. Aroma sampah itu, pada saat pertama kali terhirup, sampai membuat mual. Perlu beberapa waktu dulu sebelum menjadi agak terbiasa.
            Di bulan Februari tahun 2019 ini saya mendapat kesempatan lagi untuk berkunjung ke Bantargebang, Kali ini saya berkunjung ke sekolah dasar yang ada di tempat itu. Saya bersama beberapa orang rekan menuju ke sana menggunakan mobil.
            Dalam perjalanan itu, saya duduk-duduk saja dengan tenang dalam mobil. Namanya juga nebeng. Saya juga tidak terlalu tahu mengenal jalan menuju ke sana. Namun, saya dapat mengetahui kalau tujuan kami sudah dekat. Itu dapat diketahui dengan mudah dari aromanya. Aroma sampah yang menyengat langsung terasa saat ada yang membuka jendela. Nah, itulah tandanya tempat pembuangan sampah ini sudah dekat. Ternyata benar saja, tak lama kemudian kami tiba di tempat pembuangan sampah itu. {ST}

Minggu, 24 Februari 2019

Ibu yang Bangga Karena Anaknya Bisa Membaca




            Saat berkunjung ke Bantargebang, saya bertemu dengan seorang ibu yang sangat bangga pada anaknya yang bisa membaca. Ini sebenarnya adalah hal yang biasa saja, apalagi anaknya sudah duduk di kelas 1 SD. Setahu saya memang sudah seharusnya anak kelas 1 SD bisa membaca.
            Namun, bukan itu yang menjadi alasan saya menuliskan catatan ini di blog ini. Mengingat kondisinya, prestasi anak yang bisa membaca itu memang membanggakan, kok. 
               Anak itu tinggal di daerah Bantargebang. Di tempat ini kebanyakan orang berprofesi sebagai pemulung dan beberapa di antaranya tidak bisa membaca. Anak-anak yang lebih besar pun banyak yang tidak bisa membaca walaupun sudah bersekolah. Tak heran kalau ibu itu sangat bangga pada anaknya yang sudah bisa membaca itu. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini