Ubud
telah lama dikenal sebagai kota seni. Di tempat ini kesenian berkembang pesat
selama ratusan tahun. Konon kabarnya penghuni Ubud yang sekarang adalah
keturunan para seniman yang hijrah dari Pulau Jawa. Mereka sudah memiliki bakat
seni sejak lahir. Bakat itu ditambah dengan dukungan dari penguasa Ubud.
Di
kota kecil ini ada banyak orang yang berkarya di bidang seni, seperti pelukis,
penari, pemusik, pemahat, dll. Informasi itu saja sudah cukup menarik bagi saya
untuk mendatangi kota ini. Saya memang memasukkan Ubud menjadi salah satu
tempat impian saya untuk didatangi. Kunjungan ke Ubud baru kesampaian pada
akhir bulan Oktober 2018 ini. Saya berada di Ubud dari tanggal 23 sampai 29
Oktober 2018.
Selama
beberapa hari tinggal di Ubud, saya tinggal di sebuah rumah homestay yang
nyaman dan tenang. Rumah ini jaraknya sekitar 1,5 kilometer dari pusat kota.
Jarak segitu, sih, masih terjangkau dengan berjalan kaki. Saya memang
merencanakan untuk berjalan kaki di kota ini.
Rumah
itu sendiri sudah merupakan seni di mata saya. Rumah berarsitektur gaya Bali
itu terbagi menjadi beberapa bangunan yang dipisahkan oleh taman. Di taman ada
beberapa ornamen seni. Di bagian depannya, ada pura. Setiap rumah orang Hindi
di Bali memang memiliki pura. Hiasan dan ukiran di rumah itu benar-benar
menghibur bagi saya.
Bagi
seorang yang mengagumi lukisan, ada banyak tempat yang layak didatangi di Ubud.
Saya sudah membuat listnya di buku catatan yang saya bawa ke sana. Untuk tempat
lukisan saja ada antara lain Museum Puri Lukisan, Museum ARMA, Museum Neka, dan
Museum Antonio Blanco. Belum lagi ditambah beberapa rumah pelukis yang boleh
didatangi orang dan lukisannya boleh dilihat secara gratis.
Dari
beberapa museum itu, saya hanya berkesempatan mendatangi Museum Antonio Blanco.
Cerita tentang itu akan saya muat dalam tulisan tersendiri di blog ini. Untuk
yang lainnya, belum saya kunjungi. Ada juga yang pernah saya kunjungi, tetapi
karena keterbatasan waktu, saya tidak sampai masuk ke dalam lukisan dan
melihat-lihat.
Seni
juga terlihat dan terasa di penjuru kota Ubud. Galeri seni kecil yang
memamerkan dan menjual lukisan bertebaran di mana-mana. Kios-kios kecil lainnya
pun terlihat penuh dengan benda-benda seni. Yang tidak kalah pentingnya adalah
cara hidup orang Bali yang tinggal di Ubud. Menurut saya, cara hidup mereka
juga sekaligus berkesenian.
Hampir
setiap hari ada pertunjukan di Ubud. Pertunjukan paling sering diadakan di Puri
Ubud. Saya berkesempatan melihat Tari Legong di tempat ini. Di beberapa tempat
lainnya juga kerap diadakan pertunjukan. Tiket pertunjukan itu dijajakan di
pinggir jalan kapada turis yang lewat. Di tiket itu sudah ada penjelasan dalam
bahasa Inggris tentang pertunjukan apa yang akan diadakan.
Saya
cukup menikmati berjalan kaki di Ubud. Keindahan kotanya membuat saya tidak
terlalu merasakan rasa pegal di betis saya. Kota ini pun aman bagi pejalan kaki
dan perempuan. Informasi ini saya dapatkan dari beberapa orang Bali. Ubud
memang aman bagi turis, termasuk bagi perempuan yang pergi sendirian.
Orang-orang Ubud sadar akan pentingnya keamanan bagi turis yang datang dan
memberikan pemasukan bagi mereka. Tentu saja hal ini adalah sesuatu yang pantas
untuk disyukuri.
Pada
hari terakhir di Ubud, saya merasa agak sedih. Beberapa hari di sana rasanya
sudah kaya sudah laam tinggal di sana. Apalagi saya suka kotanya. Betah rasanya
di kota kecil penuh seni yang aman itu. Suatu saat nanti, saya akan ke sana
lagi. Kali ini hanya khusus datang untuk menjelajah dan menikmati keindahan
Kota Ubud, kota kecil yang penuh seni itu. {ST}