Ana

Rabu, 31 Oktober 2018

Cerita Saat Nyasar di Ubud




            Saya mengenal Ubud sebagai kota kecil yang penuh dengan seni. Selain itu, saya juga mengenalnya sebagai kota kecil yang mudah dijelajahi. Apalagi dengan bermodalkan Google Map. Menjelajah Ubud hal kecil, bukanlah suatu masalah.
            Suatu malam, saya menonton pertunjukan Tari Kecak di sebuah pura. Pura itu berada di pertigaan. Menurut peta, jalan di pertigaan itu akan menuju ke rumah tempat saya tinggal. Tinggal berbelok ke kiri setelah melewati jembatan.
            Saya tidak melihat Google Map saat itu karena HP saya sedang error entah mengapa. Saya cukup yakin akan dapat tiba di rumah tempat saya menginap dalam waktu singkat dengan hanya berbekal pengetahuan itu. Walaupun yakin, saya tetap bertanya pada pecalang yang saya temui. Dia pun menunjukkan jalan yang sama dengan yang sudah saya mengerti sebelumnya.
            Saya menyusuri jalan  yang makin lama makin sepi itu. Setelah berjalan makin lama makin jauh, saya belum melihat jembatan. Saya jadi ragu apakah benar itu jalannya. Saya berusaha mencari-cari orang yang dapat ditanya. Orang itu tetap menyampaikan informasi yang sama. Belok kanan setelah jembatan.
            Saya bersorak riang saat melihat jembatan besar di jalan itu. Sambil menyeberanginya, saya yakin sebentar lagi akan tiba. Apalagi saat melihat nama jalannya, jalan itu sama dengan nama tempat tinggal saya. Di ujung pertigaan itu ada persimpangan. Hmmm… sebenarnya itu adalah pertigaan. Saya mengambil jalan ke kiri karena saya lihat nomornya mendekati angka puluhan, dekat dengan nomor tempat tinggal saya.
            Saya mempercepat langkah saya. Selain karena bersemangat, juga karena mau pipis. Langkah cepat saya itu agak berkurang kecepatannya saat melintasi daerah yang banyak anjingnya. Penduduk Ubud banyak yang memelihara anjing. Makhluk ini terlihat lucu di siang hari. Namun, di saat malam hari yang gelap, sedang nyasar pula, anjing-anjing ini terasa cukup menakutkan. Saya berusaha tidak berlari walaupun takut. Karena kalau berlari saat sedang digonggong anjing, biasanya malah tambah dikejar.
            Melewati rombongan anjing itu tidak hanay terjadi sekali. Pada yang kedua kalinya, ada seekor anjing yang mulutnya sudah menyentuh bagian belakang betis saya. Ihhh…. Rasanya ngeri banget. Buku kuduk sampai berdiri. Syukurnya itu anjing tidak menggigit. Rupanya dia hanya penasaran. Setelah itu dia tidak mengikuti lagi.
            Jalan yang saya lalui malam itu sangat berbeda dengan jalan tempat tinggal saya. Saya merasa sudah cukup akrab dengan jalan tempat tinggal saya itu. Saya tahu ada beberapa pura, warung makan, dan juga gapura di jalan itu. Nah, jalan yang saya lewati malam ini benar-benar berbeda. Saya jadi berpikir apakah mungkin saya salah arah? Mungkin saja saya berada di jalan yang sama tetapi arahnya berbeda.
            Saat akan melewati rombongan anjing untuk ketiga kalinya, saya memutuskan untuk berhenti. Saya mau mencari informasi dulu sebelum salah arah lebih jauh. Saya mengambil telepon genggam saya dan memandang dengan kecewa pada layarnya yang gelap. Telepon genggam itu mati kehabisan saya. Kalaupun ada dayanya kemungkinan juga tidak bisa digunakan karena error.
            Di kejauhan di belakang saya, saya melihat ada kehidupan. Ada orang yang sedang bersiap-siap menutup kiosnya. Kios penjualan BBM itu terliha sedang dibereskan dan mau ditutup. Saya pun berlari menghampiri orang itu dan menanyakan jalan.
            Ternyata benar jalan itu adalah jalan tempat saya menginap. Hanya saja saya berjalan ke arah yang berbeda, makin menjauh dari tempat saya menginap. Seharusnya pada pertigaan setelah jembatan jalan yang diambil yang sebelah kanan. Saya sangat lega mendengarnya. Namun, saat itu juga, saya merasakan kelelahan yang sangat. Kepala dan rambut saya sudah basah kuyup oleh keringat.
            “Pak, apakah ada ojek di sini? Bisa bantuin cari, gak?” pinta saya pada bapak itu.
            “Ojek? Wah, kalau jam segini sudah tidak ada,” jawabnya dengan logat khas Bali.
            Saya melirik jam tangan. Saat itu sudah menjelang jam 10 malam. Yeah… Pantas ajalah kalau sudah tidak ada lagi ojek yang beroperasi.
            “Tunggu sebentar,” kata bapak itu sambil meninggalkan saya. Ia rupanya memanggil-manggil istrinya. Mereka terdengar berbicara dengan bahasa Bali. Saya tidak mengerti sedikit pun. Sepertinya sih ngomongin saya.
            Istrinya kemudian muncul dan meminta maaf tidak dapat mengantarkan saya karena kalau sudah malam dia takut. Saya langsung sadar rupanya bapak itu meminta istrinya untuk mengantarkan saya. Mendengar itu, saya segera bersiap-siap untuk melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu.
            Baru selangkah saya bergerak, bapak itu muncul lagi. Kali ini dengan menggunakan jaket dan topi sambil menunggang motor. Rupanya dia sendiri yang mau mengantarkan saya. Saya menanyakan berapa ongkosnya, dia malah tertawa.
            “Ah, gak usah bayar juga gak papa. Namanya juga bantuin,” ujarnya.
            Mata saya langsung berkaca-kaca karena terharu. Saat itu saya memang sangat memerlukan bantuan. Dia ada di situ tepat saat saya memerlukannya. Bapak itu mengantarkan saya ke rumah tempat tinggal saya. Dia kebetulan mengenal pemilik rumah itu.
            Walaupun tidak meminta bayaran, saya tetap memberikannya uang dengan setengah memaksa. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih berkali-kali. Kalau bapak itu tidak segera pergi, mungkin saya akan mengucapkan terima kasih lebih dari 1000 kali. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini