Saat
berkendara menggunakan bus transjakarta, saya sering melihat orang yang
tertidur. Saya juga kadang-kadang tertidur karena tidak bisa menahan kantuk.
Nah, tempat paling nyaman untuk tidur itu di tempat duduk yang di sampingnya
ada dindingnya. Bisa buat sandaran kepala.
Suatu
pagi saat pergi kerja, saya bertemu dengan seorang ibu muda yang sepertinya
mengantuk. Ibu ini bergerak sangat perlahan. Saya tahu karena saya berjalan di
belakangnya saat memasuki bus. Badannya yang besar membuat saya tidak dapat
menyusulnya karena gang di dalam bus itu penuh.
Ibu
itu kemudian memilih sebuah kursi berwarna merah, kursi prioritas. Ia kemudian
duduk di situ dan langsung menyandarkan kepalanya. Ibu itu menguap dan langsung
memejamkan matanya. Sementara saya memilih tempat duduk lain untuk “penumpang
biasa”.
Bus
itu menunggu selama beberapa saat sebelum akhirnya pintu ditutup. Di bagian
tempat duduk perempuan, hanya ada 2 penumpang, yaitu saya dan ibu muda itu. Ibu
itu belum tertidur. Ia melihat-lihat telepon genggamnya. Ia masih duduk di
kursi prioritas.
Mengapa
saya sampai menulis catatan peristiwa yang biasa-biasa saja ini? Karena saya
agak terganggu dengan kursi pilihannya itu. Ibu itu masih muda. Sepertinya ia
juga tidak hamil. Sepertinya ia pun tidak mengalami disabilitas. Hampir tidak
ada alasan baginya untuk duduk di kursi prioritas. Sebagai penumpang pertama
yang memasuki bus, ia sebenarnya berhak memilih kursi yang mana saja. Kursi
yang dipilihnya untuk tidur malah kursi prioritas.
Seperti
sudah saya tuliskan sebelumnya, kursi paling enak untuk tidur yang di
sebelahnya ada dindingnya untuk memudahkan menyandar. Nah, kursi prioritas yang
dipilih si ibu muda ini letaknya di paling pinggir, yang ada dinding untuk
menyandarkan kepalanya. {ST}