Saya
mengenal Ubud sebagai kota kecil yang penuh dengan seni. Selain itu, saya juga
mengenalnya sebagai kota kecil yang mudah dijelajahi. Apalagi dengan
bermodalkan Google Map. Menjelajah Ubud hal kecil, bukanlah suatu masalah.
Suatu
malam, saya menonton pertunjukan Tari Kecak di sebuah pura. Pura itu berada di
pertigaan. Menurut peta, jalan di pertigaan itu akan menuju ke rumah tempat
saya tinggal. Tinggal berbelok ke kiri setelah melewati jembatan.
Saya
tidak melihat Google Map saat itu karena HP saya sedang error entah mengapa.
Saya cukup yakin akan dapat tiba di rumah tempat saya menginap dalam waktu
singkat dengan hanya berbekal pengetahuan itu. Walaupun yakin, saya tetap
bertanya pada pecalang yang saya temui. Dia pun menunjukkan jalan yang sama
dengan yang sudah saya mengerti sebelumnya.
Saya
menyusuri jalan yang makin lama makin
sepi itu. Setelah berjalan makin lama makin jauh, saya belum melihat jembatan.
Saya jadi ragu apakah benar itu jalannya. Saya berusaha mencari-cari orang yang
dapat ditanya. Orang itu tetap menyampaikan informasi yang sama. Belok kanan
setelah jembatan.
Saya
bersorak riang saat melihat jembatan besar di jalan itu. Sambil
menyeberanginya, saya yakin sebentar lagi akan tiba. Apalagi saat melihat nama
jalannya, jalan itu sama dengan nama tempat tinggal saya. Di ujung pertigaan
itu ada persimpangan. Hmmm… sebenarnya itu adalah pertigaan. Saya mengambil
jalan ke kiri karena saya lihat nomornya mendekati angka puluhan, dekat dengan
nomor tempat tinggal saya.
Saya
mempercepat langkah saya. Selain karena bersemangat, juga karena mau pipis.
Langkah cepat saya itu agak berkurang kecepatannya saat melintasi daerah yang
banyak anjingnya. Penduduk Ubud banyak yang memelihara anjing. Makhluk ini
terlihat lucu di siang hari. Namun, di saat malam hari yang gelap, sedang
nyasar pula, anjing-anjing ini terasa cukup menakutkan. Saya berusaha tidak
berlari walaupun takut. Karena kalau berlari saat sedang digonggong anjing,
biasanya malah tambah dikejar.
Melewati
rombongan anjing itu tidak hanay terjadi sekali. Pada yang kedua kalinya, ada
seekor anjing yang mulutnya sudah menyentuh bagian belakang betis saya. Ihhh….
Rasanya ngeri banget. Buku kuduk sampai berdiri. Syukurnya itu anjing tidak
menggigit. Rupanya dia hanya penasaran. Setelah itu dia tidak mengikuti lagi.
Jalan
yang saya lalui malam itu sangat berbeda dengan jalan tempat tinggal saya. Saya
merasa sudah cukup akrab dengan jalan tempat tinggal saya itu. Saya tahu ada
beberapa pura, warung makan, dan juga gapura di jalan itu. Nah, jalan yang saya
lewati malam ini benar-benar berbeda. Saya jadi berpikir apakah mungkin saya
salah arah? Mungkin saja saya berada di jalan yang sama tetapi arahnya berbeda.
Saat
akan melewati rombongan anjing untuk ketiga kalinya, saya memutuskan untuk
berhenti. Saya mau mencari informasi dulu sebelum salah arah lebih jauh. Saya
mengambil telepon genggam saya dan memandang dengan kecewa pada layarnya yang
gelap. Telepon genggam itu mati kehabisan saya. Kalaupun ada dayanya
kemungkinan juga tidak bisa digunakan karena error.
Di
kejauhan di belakang saya, saya melihat ada kehidupan. Ada orang yang sedang
bersiap-siap menutup kiosnya. Kios penjualan BBM itu terliha sedang dibereskan
dan mau ditutup. Saya pun berlari menghampiri orang itu dan menanyakan jalan.
Ternyata
benar jalan itu adalah jalan tempat saya menginap. Hanya saja saya berjalan ke
arah yang berbeda, makin menjauh dari tempat saya menginap. Seharusnya pada
pertigaan setelah jembatan jalan yang diambil yang sebelah kanan. Saya sangat
lega mendengarnya. Namun, saat itu juga, saya merasakan kelelahan yang sangat.
Kepala dan rambut saya sudah basah kuyup oleh keringat.
“Pak,
apakah ada ojek di sini? Bisa bantuin cari, gak?” pinta saya pada bapak itu.
“Ojek?
Wah, kalau jam segini sudah tidak ada,” jawabnya dengan logat khas Bali.
Saya
melirik jam tangan. Saat itu sudah menjelang jam 10 malam. Yeah… Pantas ajalah
kalau sudah tidak ada lagi ojek yang beroperasi.
“Tunggu
sebentar,” kata bapak itu sambil meninggalkan saya. Ia rupanya
memanggil-manggil istrinya. Mereka terdengar berbicara dengan bahasa Bali. Saya
tidak mengerti sedikit pun. Sepertinya sih ngomongin saya.
Istrinya
kemudian muncul dan meminta maaf tidak dapat mengantarkan saya karena kalau
sudah malam dia takut. Saya langsung sadar rupanya bapak itu meminta istrinya
untuk mengantarkan saya. Mendengar itu, saya segera bersiap-siap untuk
melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu.
Baru
selangkah saya bergerak, bapak itu muncul lagi. Kali ini dengan menggunakan
jaket dan topi sambil menunggang motor. Rupanya dia sendiri yang mau
mengantarkan saya. Saya menanyakan berapa ongkosnya, dia malah tertawa.
“Ah,
gak usah bayar juga gak papa. Namanya juga bantuin,” ujarnya.
Mata
saya langsung berkaca-kaca karena terharu. Saat itu saya memang sangat
memerlukan bantuan. Dia ada di situ tepat saat saya memerlukannya. Bapak itu
mengantarkan saya ke rumah tempat tinggal saya. Dia kebetulan mengenal pemilik
rumah itu.
Walaupun
tidak meminta bayaran, saya tetap memberikannya uang dengan setengah memaksa.
Tak lupa saya mengucapkan terima kasih berkali-kali. Kalau bapak itu tidak
segera pergi, mungkin saya akan mengucapkan terima kasih lebih dari 1000 kali. {ST}