Suatu
kali tanpa sengaja saya mendengar percakapan seorang ibu yang sedang menelepon
anaknya. Ibu yang duduk di sebelah saya di bus Transjakarta itu tepatnya
mengadakan video call dengan anak-anaknya. Selain mendengar suara ibu itu, saya
juga mendengar suara anak-anaknya. Ibu yang sepertinya pekerja kantoran itu menanyakan
keadaan anak-anaknya.
“Sudah
makan apa belum? Sudah belajar apa belum?” dan lain-lain pertanyaan khas
ibu-ibu, deh.
Pertanyaan-pertanyaan
itu berubah menjadi omelan yang menggunakan kata “jangan” saat beberapa jawaban
yang diberikan rupanya tidak berkenan dengan keinginan si ibu itu.
Saya
yang sedang duduk membaca di sebelah ibu itu tanpa sengaja menghitung kata
“jangan” yang diucapkan oleh ibu itu. Sambil menghitung, saya membayangkan
bentuk turus dalam pikiran saya. Ibu itu berkali-kali mengucapkan kata “jangan”
yang diikuti oleh kata lain, misalnya jangan nakal, jangan naik-naik, jangan
main hp, jangan nonton youtube, dll. Banyak, deh, larangannya. Totalnya ada 19
kata “jangan”. Saya ingat totalnya karena jumlahnya yang nanggung itu. Kenapa
enggak dijadikan 20 kali aja, ya?
Kedua
anak ibu itu menjawab ibunya dengan suara yang malas-malasan. Salah seorangnya
ada yang akhirnya ngabur tidak mau berbicara dengan ibunya. Tindakannya itu
memicu omelan ibu itu lagi. Setelah sadar kedua anaknya sudah malas bicara, ibu
itu mengakhiri video call-nya.
Entah
mengapa, saya dapat memahami kemalasan anak-anak itu berbicara dengan ibunya.
Saya juga malas, sih, kalau hampir seluruh percakapan hanya dimarahi dan
dilarang terus-terusan. Saya pernah dapat informasi bahwa ada beberapa anak
yang tidak mempan dengan kata “jangan”. Makin dilarang makin seperti disuruh.
Saya juga mengenal beberapa anak yang seperti itu. Saya juga kadang-kadang
seperti itu, sih. Melanggar larangan kadang-kadang karena penasaran atau juga
karena pemberontakan.
Setelah
memutuskan sambungan telepon itu, sang ibu itu kembali melanjutkan omelannya
tentang anak zaman sekarang yang tidak mau menurut apa kata orang tua. Sekali
lagi, kali ini pun saya dapat lebih mengerti sisi sang anak daripada ibunya. {ST}