Ana

Rabu, 04 Juli 2018

Menyebut “Jangan” 19 Kali




            Suatu kali tanpa sengaja saya mendengar percakapan seorang ibu yang sedang menelepon anaknya. Ibu yang duduk di sebelah saya di bus Transjakarta itu tepatnya mengadakan video call dengan anak-anaknya. Selain mendengar suara ibu itu, saya juga mendengar suara anak-anaknya. Ibu yang sepertinya pekerja kantoran itu menanyakan keadaan anak-anaknya.
            “Sudah makan apa belum? Sudah belajar apa belum?” dan lain-lain pertanyaan khas ibu-ibu, deh.
            Pertanyaan-pertanyaan itu berubah menjadi omelan yang menggunakan kata “jangan” saat beberapa jawaban yang diberikan rupanya tidak berkenan dengan keinginan si ibu itu.
            Saya yang sedang duduk membaca di sebelah ibu itu tanpa sengaja menghitung kata “jangan” yang diucapkan oleh ibu itu. Sambil menghitung, saya membayangkan bentuk turus dalam pikiran saya. Ibu itu berkali-kali mengucapkan kata “jangan” yang diikuti oleh kata lain, misalnya jangan nakal, jangan naik-naik, jangan main hp, jangan nonton youtube, dll. Banyak, deh, larangannya. Totalnya ada 19 kata “jangan”. Saya ingat totalnya karena jumlahnya yang nanggung itu. Kenapa enggak dijadikan 20 kali aja, ya?
            Kedua anak ibu itu menjawab ibunya dengan suara yang malas-malasan. Salah seorangnya ada yang akhirnya ngabur tidak mau berbicara dengan ibunya. Tindakannya itu memicu omelan ibu itu lagi. Setelah sadar kedua anaknya sudah malas bicara, ibu itu mengakhiri video call-nya.
            Entah mengapa, saya dapat memahami kemalasan anak-anak itu berbicara dengan ibunya. Saya juga malas, sih, kalau hampir seluruh percakapan hanya dimarahi dan dilarang terus-terusan. Saya pernah dapat informasi bahwa ada beberapa anak yang tidak mempan dengan kata “jangan”. Makin dilarang makin seperti disuruh. Saya juga mengenal beberapa anak yang seperti itu. Saya juga kadang-kadang seperti itu, sih. Melanggar larangan kadang-kadang karena penasaran atau juga karena pemberontakan.
            Setelah memutuskan sambungan telepon itu, sang ibu itu kembali melanjutkan omelannya tentang anak zaman sekarang yang tidak mau menurut apa kata orang tua. Sekali lagi, kali ini pun saya dapat lebih mengerti sisi sang anak daripada ibunya. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini