Saya
sering berkendara menggunakan Transjakarta. Transportasi yang murah meriah ini
menurut saya pelayanannnya makin lama makin baik. Sampai suatu pagi saya
menyampaikan kritik kepada petugas penjaga halte.
Pagi
itu saat menuju halte saya dihadang oleh 3 orang anak muda dan seorang ibu.
Mereka mengerubungi saya dan berbicara berbarengan. Saya sampai kebingungan
sampai akhirnya terdengar kata “pinjam kartu”. Rupanya mereka mau pinjam kartu
saya untuk masuk ke dalam halte.
“Minta
tolong ke petugasnya aja,” kata saya.
Bukannya
saya tidak mau membantu, sih. Hal seperti itu sebenarnya dapat diatasi oleh
petugas yang ada di situ. Entah dengan mengisi kartu uang elektronik mereka,
atau menjual yang baru. Atau mungkin juga memasukkan mereka ke dalam halte
dengan otoritasnya. Akhirnya saya yang menyampaikan kepentingan itu ke petugas
halte.
“Nggak
bisa! Mereka harus beli kartu!” kata petugas itu dengan tegas. Kemudian ia
melanjutkan lagi kegiatannya di dalam loket.
“Apakah
tidak ada solusi untuk mereka?” tanya saya saat ada lagi orang yang bernasib
sama, mau pinjam kartu saya.
“Kalau
saya enggak bisa ngisi kartunya. Katanya offline,” kata calon penumpang yang
terakhir. Calon penumpang yang ini langsung mengeluarkan 2 lembar uang dua
ribuan. “Ini saya bayar ke mbaknya, deh,” lanjutnya lagi.
“Mbak,
ayo sini ke luar dulu. Apakah tidak ada solusi lain yang tidak merepotkan
saya?” tanya saya galak pada petugas halte yang kembali duduk di dalam bilik.
Petugas
itu akhirnya keluar sambil mengomel. Dia tidak punya solusi sama sekali.
Akhirnya kami semua, totalnya orang,
masuk ke dalam halte menggunakan kartu saya. {ST}