Ana

Rabu, 23 Mei 2018

Bus Damri ke Bandara yang Mogok




            Saya cukup sering menggunakan bus Damri dari bandara ke rumah. Saya memilih moda transportasi ini apabila bepergian sendiri saja dan tidak membawa terlalu banyak barang. Berkendara menggunakan bus biayanya lebih murah. Kadangkadang perjalanannya pun lebih lancar. Selain itu, ada juga citacita mulia mengurangi jejak karbon he he he....
            Sebaliknya, saya belum pernah menggunakan bus menuju ke bandara. Biasanya saya menggunakan taksi atau mobil aplikasi online. Suatu kali, saya bertekad menggunakan bus dari Kelapa Gading. Saya mendapat banyak informasi yang hampir semuanya porsitif tentang bus yang berangkat dari Mall Kelapa Gading 2 itu.
            Saya berangkat dari rumah sekitar 3 jam sebelum jam keberangkatan. Perjalanan dari rumah ke Kelapa Gading ternyata memakan waktu cukup lama karena padatnya lalu lintas. Setiba di sana, saya langsung naik ke bus yang memang sudah ada. Sebelumnya, saya berniat membeli tiket dulu, sih. Namun, petugas yang ada di sana langsung meminta saya naik ke bus saja.
            Di bus yang adem itu sudah ada beberapa penumpang. Saya pun memilih tempat duduk yang nyaman untuk membaca. Ada cukup banyak pilihan tempat duduk karena bus itu memang tidak terlalu penuh. Saya sempat khawatir juga kalau bus itu baru berangkat apabila penumpangnya sudah penuh.
            “Jangan khawatir. Busnya berangkat setiap setengah jam, kok. Satu penumpang juga tetap dilayani,” jawab petugas yang saya tanyakan.
            Saya pun duduk kembali dengan tenang. Benar juga, beberapa menit kemudian bus itu berangkat. Saya melihat ke jam tangan. Masih ada waktu 2 jam sebelum jam keberangkatan saya.
            Belum jauh bus itu berjalan, tibatiba mesinnya terbatukbatuk dan akhirnya mesin bus itu mati. Pengemudinya mencoba menghidupkannya kembali. Mesin bus itu menyala beberapa saat. Bus berjalan sebentar dan akhirnya mogok lagi. Ia mencoba menyalakan mesin bus berkalikali namun tidak berhasil. Mesin mati artinya pendingin udara juga mati. Akhirnya pintu bus itu dibuka.
            Kami menunggu beberapa saat. Setelah beberapa belas menit, saya menjadi gelisah. Jadwal penerbangan saya makin dekat waktunya, sementara saya tidak bergerak sama sekali menuju bandara. Kegelisahan saya makin memuncak saat melihat laju lalu lintas di sekitar saya yang tersendat.
            Saya menghampiri pengemudi untuk menanyakan kejelasan perjalanan kami. Kalau memang tidak terlalu jelas solusinya, saya bertekad untuk mencari kendaraan lain saja menuju bandara.
            “Nanti naik bus yang berikutnya,” kata pengemudi itu sambil melihatlihat telepon genggamnya.
            Awalnya saya agak bete juga karena di saat seperti ini dia kok malah lihatlihat HP. Rasa betenya hilang setelah saya tidak sengaja melihat ke HPnya. Di situ ada gambar bus lain yang baru berangkat dari tempat kami tadi berangkat.
            “Ini busnya baru jalan, Mbak,” katanya sambil memperlihatkan layar telepon genggam itu.
            Saya merasa lega menanti datangnya bus jemputan itu. Sementara pengemudi bus mencoba kembali menghidupkan mesin busnya. Kali ini mesinnya menyala sebentar. Ia mengemudikan busnya ke tepi jalan. Tak lama kemudian, mesin bus itu mati lagi.
            Bus jemputan yang kami nantikan datang. Saya dan beberapa penumpang, yang tidak saya kenal, bersorak bersama. Dengan gembira kami keluar dari bus yang mogok menuju ke bus jemputan. Hampir setiap orang membawa barangnya masingmasing. Hanya ada 1 orang yang minta kopernya dibawakan oleh petugas.
            Bus itu berjalan melalui lalu lintas yang padat. Waktu tempuhnya menjadi lebih lama dari yang saya perkirakan. Saya makin degdegan karena jadwal penerbangan saya makin dekat.
            Rasa lega sempat terasa saat mendekati bandara. Saat itu setengah jam sebelum waktu keberangkatan. Biasanya saat itu para penumpang sudah diarahkan menuju ke pesawat. Namun, saya masih berharap karena maskapai yang saya gunakan itu terkenal karena sering terlambat. Saya juga berharap besar karena keberangkatan saya dari terminal 1, terminal yang paling dekat dengan pintu masuk.
            Saat mendekati persimpangan jalan ke terminal, saya sudah menyiapkan barangbarang saya. Jadi saat pintu bus terbuka, saya langsung meluncur keluar. Di persimpangan menuju Terminal 1, harapan saya mulai pupus. Bus itu membelok ke jalan lain menuju ke Terminal 3.
            “Pak, kenapa gak ke terminal 1 dulu? Kan, yang paling dekat,” tanya saya pada pengemudi.
            “Enggak. Kita ke terminal 3 dulu,” katanya tanpa ekspresi.
            Setelah ke terminal 3 dan menurunkan beberapa penumpang. Harapan saya mulai muncul lagi.
            “Pak, habis ini ke terminal 1, kan?” tanya saya penuh harap.
            “Habis ini ke terminal 2. Paling 3 menit, kok,” ujarnya santai dan tidak terlalu peduli.
            “Apa???” teriak saya putus asa.
            Perjalanan dari terminal 3 ke terminal 2 saja sudah memakan waktu lebih dari 3 menit. Belum ditambah dengan menurunkan penumpang dan barang. O ya, penumpang yang tadi minta tolong bawakan kopernya saat bus mogok itu turun di terminal 2. Kali ini pun ia tidak mengangkat barangnya sendiri. Perlu waktu agak lebih lama di situ.
            Saat mencapai terminal 1, tinggal  10 menit lagi menjelang keberangkatan. Saya berlari ke counter maskapai tersebut untuk melaporkan diri. Saat itu saya juga membawa bagasi barang titipan yang lumayan besar. Namun apa daya. Saya ditolak. Sudah tidak diterima lagi. Saya ketinggalan pesawat. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini