Pada bus Transjakarta ada aturan
tidak boleh makan dan minum di dalam bus. Aturan ini tidak terlalu menjadi
perhatian saya karena saya memang hampir tidak pernah makan dan minum di bus.
Ada kata “hampir” karena memang saya hampir tidak pernah melakukannya. Pernah,
sih, makan permen. Itu juga sangat jarang.
Saya dapat menerima dan memaklumi
adanya aturan itu. Sepertinya demikian pula dengan kebanyakan penumpang lain.
Mereka kebanyakan menghentikan kegiatan makan apabila masuk ke dalam bus.
Kecuali yang saya temui di malam saat saya pulang kantor pada suatu hari.
Penumpang yang 1 ini menunggu di
halte yang sama dengan saya. Ia makan sate saat kami sama-sama menunggu. Aroma
sate yang semerbak itu memenuhi halte sempit di depan kantor saya.
Sebelum makanannya habis, bus yang
ditunggu datang. Penumpang itu langsung naik ke bus bersama saya. Saya yang
hidungnya sudah terbiasa mencium aroma sate (karena nunggu bareng di halte)
tidak terlalu terganggu. Namun, tidak demikian dengan penumpang lain. Gerutuan
terdengar di sekitar kami.
Gerutuan makin terdengar keras saat
orang itu makan di dalam bus. Ya, ia menyambung makan satenya yang terputus
karena kedatangan bus. Kelakuannya itu membuat makin banyak orang yang
menggerutu bahkan marah-marah karena ulahnya.
Petugas bus menegur orang itu. Yang
ditegur malah marah. Akhirnya orang-orang lain mendukung sang petugas untuk
menegur orang itu.
“Kalau masih mau makan juga, silakan
turun di halte terdekat!” kata sang petugas dengan tegas.
Orang tersebut ternyata tidak
peduli. Ia tetap makan satenya tanpa peduli pada teguran petugas maupun
gerutuan penumpang lainnya.
“Silakan turun di halte ini, Bu,”
ujar petugas bus saat pintu bus terbuka di halte selanjutnya.
Ibu itu yang sebelumnya duduk,
diarahkan untuk ke luar. Beberapa orang terlihat memberikan jalan kepada ibu
bearoma sate itu. Ya, dia diturunkan di halte terdekat. Sepertinya banyak orang
yang lega atas ketegasan petugas bus itu. Saya juga lega dan kagum atas
ketegasannya. {ST}