Ana

Sabtu, 06 Januari 2018

Menyesuaikan Diri dengan Polusi Suara




              Saya agak terganggu apabila mendengar bunyi-bunyian yang mengganggu pendengaran. Bunyi-bunyian yang mengganggu pendengaran itu dapat didefinisikan sebagai bunyi-bunyian yang tidak saya sukai. Entah itu suara manusia bawel, suara knalpot berisik, nyamuk yang mendenging tapi gek keliatan wujudnya, atau suara dentuman senjata. Menurut saya, itu adalah polusi suara.
              Kicau burung, suara serangga di hutan, suara aliran air, dan deburan ombak tidak termasuk dalam polusi suara. Bunyi-bunyian khas alam itu malah menenangkan dan menimbulkan banyak inspirasi bagi saya. Kadang-kadang saya malah berusaha menghadirkannya.
              Saya harus bersyukur dapat tinggal di rumah yang tenang, yang jauh dari hiruk-pikuk kendaraan dan suara orang. Namun, saya tidak selalu berada di lingkungan yang mendukung seperti ini. Saya kerap kali harus keluar rumah dan mendengar hiruk-pikuk kendaraan di jalanan di Jakarta. Saya juga sering terpaksa mendengar suara manusia yang bawel.
              Saya sudah berhasil menyesuaikan diri dengan suara kendaraan di jalanan. Caranya dengan memaklumi dan menerima bahwa suara itu terjadi karena adanya aksi pada kendaraan itu. Logika lah itu. Jadi seberisik apa pun lingkungan sekitar saat naik bus, saya tidak terlalu terganggu.
              Beda halnya dengan suara orang, apalagi kalau volume suaranya sangat kencang. Pikiran saya kadang-kadang jadi teralih dan kesulitan berkonsentrasi. Mungkin karena saya paham bahasa yang digunakan. Saya makin jengkel karena apa yang dibicarakan adalah sesuatu yang tidak terlalu berguna dan diulang berkali-kali. Membicarakan sesuatu yang tidak berguna saja saya sudah malas, apalagi berkali-kali gitu.
              Untuk beberapa orang yang tidak terlalu sering saya temui, saya berusaha untuk toleransi. Saya berusaha mendengar selama beberapa menit. Kalau sudah tidak tahan lagi biasanya saya tinggalkan. Pernah juga saya menegurnya, tapi akibatnya agak kurang baik. Hubungan kami jadi agak renggang he he he...
              Beda halnya dengan orang yang setiap hari kita temui dan sangat berisik. Selain karena suaranya, juga karena musiknya yang diulang-ulang terus. Saya harus habis-habisan menyesuaikan diri. Kadang-kadang batas toleransi saya sampai sangat tipis. Beberapa kali saya sampai menutup telinga karena tidak mau mendengar suara berisik itu.
              Terlalu sering menutup telinga dengan tangan membuat saya berpikir untuk menutup telinga saya dengan headphone yang kedap suara luar. Selama ini saya juga sering mengenakan headphone. Hanya saja suara dari luar tetap bisa terdengar. Sebelumnya saya memang sengaja memilih headphone seperti ini supaya orang masih dapat berkomunikasi dengan saya. Sepertinya saya juga harus mencoba menggunakan headphone di mana suara luar tidak perlu saya dengarkan. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini