Suatu kali saya memesan mobil
menggunakan aplikasi online. Mobil
yang saya pesan itu terlihat sudah berada di dekat area rumah saya. Ada penanda
7 menit tertera di layar. Mobil itu terlihat bergerak mendekat. Saya pun
mengira tidak ada masalah dengan tempat penjemputannya.
Setelah beberapa lama, lebih dari 7
menit, saya melihat lagi ke layar telepon genggam saya. Pengemudi itu ternyata
sudah klik “arrived”, padahal
mobilnya belum ada di depan rumah saya. Saya pun meneleponnya. Dari pembicaraan
itu, rupanya dia salah mengerti alamat rumahnya. Saya memberikan petunjuk
kemudian kembali menunggu.
Penantian saya ternyata cukup lama.
Pengemudi ini menuju ke arah yang salah alias nyasar. Saya pun kembali
meneleponnya. Saya sampaikan petunjuk dengan sejelas-jelasnya supaya dia dapat
segera tiba. Sudah banyak waktu yang terbuang karena 2 kali nyasar itu.
Setelah masuk dalam kendaraan, saya
mengingatkan sebaiknya lihat dulu tempat penjemputannya, atau lihat GPS.
“Saya tidak mau lihat GPS. Saya
orangnya begitu. Saya pernah dibawa mutar-mutar gara-gara lihat GPS, …..” omel
bapak itu.
Saya langsung merasa tidak nyaman di
mobil itu. Saya yang seharusnya menyatakan keberatan karena keterlambatannya
itu. Ini, kok, malah dia yang ngomel-ngomel. Saya mencoba menahan diri sampai
akhirnya saya tidak tahan lagi. Saya ungkapkan ketidaksenangan saya ketika dia
tidak mau diberi tahu jalan yang benar. Menurutnya, dia orang yang tahu jalan,
tidak perlu diberi tahu seperti supir taksi. Saya tidak suka mendengar
ungkapan-ungkapannya yang seakan-akan supir taksi kastanya lebih rendah dari
pengemudi angkutan online yang
mengemudikan mobil pribadi.
“Bapak mengaku tahu jalan tapi, kok,
nyasar sampai 2 kali? Buang-buang waktu saja,” labrak saya.
Bapak itu kembali melakukan
perlawanan dan membela diri. Akhirnya saya memaksanya untuk tidak bicara. Saya
juga tidak bicara tentunya. Lebih baik cepat-cepat mengalihkan pikiran pada hal
lain. Perjalanan yang sangat tidak menyenangkan.
Akibat kesepakatan untuk tidak
bicara itu, saya pun tidak berbicara untuk menunjukkan alamat tempat saya minta
diantarkan. Akibatnya mobilnya kelewatan. Saya terpaksa melanggar kesepakatan.
Saya berseru minta mobil dihentikan. Saya langsung keluar dan meninggalkan
mobil itu. Saya membayarnya menggunakan sistem nontunai sehingga tidak perlu
ada interaksi lagi. Saya tidak memberikan bintang 5 atas pelayanannya ini.
Setelah kejengkelan saya hilang,
saya jadi kasihan juga pada pengemudi itu. Sepertinya ia agak gaptek, alias
gagap teknologi. Saat ini yang namanya teknologi GPS itu biasa saja. Kalau
misalnya tidak percaya pada petunjuk yang diberikan, gunakan saja sebagai peta
untuk menuju tempat tujuannya.
Saya juga masih belum
bisa menerima pendapatnya yang merendahkan supir taksi. Jobdesc supir taksi, kan, hampir sama aja dengan dia. Saya tidak
tahu kenapa saya sampai marah saat dia merendahkan pekerjaan supir taksi. Pekerjaan
itu pun adalah pekerjaan yang halal, tidak seharusnya direndahkan. Akhir kata,
saya hanya dapat mendoakan semoga bapak itu mendapatkan pekerjaan lain. Dengan
kelakuan seperti itu, dia benar-benar tidak cocok sebagai pengemudi
transportasi online. {ST}