Ana

Jumat, 03 November 2017

Ibu Karung




            Saat berkendara menggunakan transjakarta, saya sering bertemu dengan orang yang itu-itu saja. Sepertinya rutinitas kami hampir mirip. Ada beberapa yang membuat saya terksesan. Salah satunya adalah Ibu Karung.

            Saya tidak mengenal Ibu Karung. Itu adalah nama julukan yang saya berikan karena dia kerap kali membawa karung. Saya juga tidak tahu apa isi karung ibu itu. Karungnya besar berwarna putih. Isinya sepertinya tidak terlalu berat karena Ibu Karung dapat mengangkatnya dengan mudah.

            Selama berada dalam kendaraan yang sama dengan Ibu Karung, saya biasanya hanya memandang sekilas. Ibu Karung selalu berada cukup jauh dari saya. Dia biasanya memilih tempat yang agak lapang untuk meletakkan karungnya.  Berbeda halnya dengan pengalaman tadi pagi. Ibu Karung duduk di sebelah saya. Kali ini dia tidak hanya membawa sebuah karung. Dia membawa 2 karung ukuran besar.

            Ibu Karung adalah wanita setengah baya, belum termasuk lansia. Itu sebabnya kadang-kadang dia tidak mendapatkan tempat duduk prioritas. Sebenarnya tadi pagi pun Ibu Karung tidak mendapatkan tempat duduk. Seorang perempuan muda yang duduk di sebelah saya kemudian memberikan kursinya untuk Ibu Karung. Melihat hal itu, Ibu Karung segera bergegas menghampiri kursi kosong itu. Dia langsung duduk tanpa melihat lebih dulu. Akibatnya, sebagian bokongnya menimpa pangkuan saya. Barulah kemudian ia menggeser badannya supaya pas dengan tempat duduk yang ada.

            Ibu Karung meminta maaf kepada saya. Saya mengangguk ramah tanda memaklumi dan memaafkannya. Ia kemudian menarik karung-karungnya, meletakkannya di depannya dan di depan saya. Ya, karung itu menyender ke badan saya. Tidak hanya itu, Ibu Karung juga menyenderkan badannya ke arah saya. Jadi saya agak tergencet di antara karung dan Ibu Karung.

            Setelah beberapa lama dalam perjalanan, saya menjadi agak terganggu dengan ulah Ibu Karung yang sering sekali bergerak-gerak. Sikutnya beberapa kali menyodok pinggang saya. Saya yang sedang membaca berkali-kali terkejut dan menahan rasa geli. Geli ini bukan karena lucu, lo. Bagian pinggang saya memang agak sensitif geli. Saya lega sekali ketika akhirnya sampai di halte tujuan.

            Setelah keluar dari bus, saya mendengar ada yang berkomentar tentang Ibu Karung. Ada yang mengatakan kalau mau bawa karung nggak usah naik bus, apalagi di jam berangkat kerja seperti itu. Saya tidak menanggapi. Namun, setelah dipikir-pikir benar juga. Bawaan sebesar itu akan membuat kabin kendaraan bertambah sempit. Ibu Karung beserta karung-karungnya menempati tempat yang bisa mengangkut 4 sampai 5 orang.

            Di sisi lain, mungkin hanya itulah pilihan transportasi buat Ibu Karung. Mungkin dia tidak memiliki mobil atau tidak bisa memesan trasnportasi online yang lebih nyaman utnuk mengangkut karung-karungnya itu. Entahlah. Yang jelas saya lebih memilih tidak berada di sekitar Ibu Karung dan karung-karungnya itu. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini