Saat berkendara menggunakan transjakarta, saya sering bertemu dengan
orang yang itu-itu saja. Sepertinya rutinitas kami hampir mirip. Ada beberapa
yang membuat saya terksesan. Salah satunya adalah Ibu Karung.
Saya
tidak mengenal Ibu Karung. Itu adalah nama julukan yang saya berikan karena dia
kerap kali membawa karung. Saya juga tidak tahu apa isi karung ibu itu.
Karungnya besar berwarna putih. Isinya sepertinya tidak terlalu berat karena
Ibu Karung dapat mengangkatnya dengan mudah.
Selama
berada dalam kendaraan yang sama dengan Ibu Karung, saya biasanya hanya
memandang sekilas. Ibu Karung selalu berada cukup jauh dari saya. Dia biasanya
memilih tempat yang agak lapang untuk meletakkan karungnya. Berbeda halnya dengan pengalaman tadi pagi.
Ibu Karung duduk di sebelah saya. Kali ini dia tidak hanya membawa sebuah
karung. Dia membawa 2 karung ukuran besar.
Ibu
Karung adalah wanita setengah baya, belum termasuk lansia. Itu sebabnya
kadang-kadang dia tidak mendapatkan tempat duduk prioritas. Sebenarnya tadi
pagi pun Ibu Karung tidak mendapatkan tempat duduk. Seorang perempuan muda yang
duduk di sebelah saya kemudian memberikan kursinya untuk Ibu Karung. Melihat
hal itu, Ibu Karung segera bergegas menghampiri kursi kosong itu. Dia langsung
duduk tanpa melihat lebih dulu. Akibatnya, sebagian bokongnya menimpa pangkuan
saya. Barulah kemudian ia menggeser badannya supaya pas dengan tempat duduk
yang ada.
Ibu
Karung meminta maaf kepada saya. Saya mengangguk ramah tanda memaklumi dan
memaafkannya. Ia kemudian menarik karung-karungnya, meletakkannya di depannya
dan di depan saya. Ya, karung itu menyender ke badan saya. Tidak hanya itu, Ibu
Karung juga menyenderkan badannya ke arah saya. Jadi saya agak tergencet di
antara karung dan Ibu Karung.
Setelah
beberapa lama dalam perjalanan, saya menjadi agak terganggu dengan ulah Ibu
Karung yang sering sekali bergerak-gerak. Sikutnya beberapa kali menyodok
pinggang saya. Saya yang sedang membaca berkali-kali terkejut dan menahan rasa
geli. Geli ini bukan karena lucu, lo. Bagian pinggang saya memang agak sensitif
geli. Saya lega sekali ketika akhirnya sampai di halte tujuan.
Setelah
keluar dari bus, saya mendengar ada yang berkomentar tentang Ibu Karung. Ada
yang mengatakan kalau mau bawa karung nggak usah naik bus, apalagi di jam
berangkat kerja seperti itu. Saya tidak menanggapi. Namun, setelah
dipikir-pikir benar juga. Bawaan sebesar itu akan membuat kabin kendaraan
bertambah sempit. Ibu Karung beserta karung-karungnya menempati tempat yang
bisa mengangkut 4 sampai 5 orang.
Di
sisi lain, mungkin hanya itulah pilihan transportasi buat Ibu Karung. Mungkin
dia tidak memiliki mobil atau tidak bisa memesan trasnportasi online yang lebih nyaman utnuk
mengangkut karung-karungnya itu. Entahlah. Yang jelas saya lebih memilih tidak
berada di sekitar Ibu Karung dan karung-karungnya itu. {ST}