Ana

Kamis, 24 Agustus 2017

Ruang Tunggu Bandara Adisucipto yang Sangat Padat




            Libur panjang di pertengahan bulan Agustus 2017 saya gunakan untuk berlibur ke Jogja. Saya baru kembali ke Jakarta pada tanggal 20 Agustus 2017 menggunakan pesawat malam. Maskapai pesawat yang saya gunakan itu kemudian mengumumkan keterlambatannya.
            Pada hari itu Bandara Adisucipto sangat padat oleh orang. Sepertinya mereka juga seperti saya, orang-orang yang melewatkan akhir pekannya di kota ini. Hari ini adalah hari terakhir liburan dan sudah waktunya pulang. Seperti calon penumpang lainnya, saya ikut berbondong-dondong menuju ruang tunggu.
            Ruang tunggu bandara itu tidak kalah hiruk-pikuknya dengan bagian lainnya. Hampir semua tempat duduk ada yang menduduki. Di gang-gang sempit antar kursi ada barang-barang. Ada juga antrean orang untuk naik ke pesawat.
            Berhubung saya pergi sendiri, cukup mudah bagi saya untuk menemukan tempat duduk. Saya senang sekali saat menemukan tempat duduk tepat di bawah lampu yang terang. Saya bisa membaca sambil menanti. Tempat duduk itu juga letaknya tak terlalu jauh dari pintu keluar ke apron.
            Tak lama kemudian saya sudah asyik dengan buku bacaan saya. Saya tidak terlalu memerhatikan sekitar sampai ada orang yang menegur saya.
            “Apakah saya boleh taro barang di sini?” pinta seorang pemuda.
            Setelah melihat bawaannya, yang berupa sekotak bakpia, saya mengiyakan dengan ramah. Di dekat tempat duduk saya itu memang ada space cukup besar untuk meletakkan barang. Saya pun akan meletakkan bawaan saya di situ apabila saya membawa barang bawaan yang cukup banyak.
            Pemuda itu meletakkan kotak bakpianya kemudian memanggil rombongannya. Rupanya rombongan mereka terpencar-pencar karena tidak menemukan tempat duduk yang berdekatan. Rombongan itu tidak hanya terdiri dari para pemuda sopan. Dalam rombongan ini juga ada perempuan setengah baya agak bawel, dan anak-anak remaja perempuan yang berisik sekali. Masing-masing orang membawa bawaannya masing-masing. Bawaan itu kemudian diletakkan di dekat tempat duduk saya. Timbunan barang itu ada yang menimpa kaki saya.
Rombongan itu berkumpul di sekeliling saya. Mereka berdiri karena tidak mendapat tempat duduk. Rasanya saya agak terganggu dengan kehadiran mereka. Selain menghalangi cahaya lampu, suara berisik mereka yang terlalu dekat dengan telinga juga menjadi polusi suara. Sempat terpikir untuk pergi saja. Namun saya tetap bertahan saat melihat padatnya ruang tunggu bandara itu. Kalau saya pindah, belum tentu saya mendapat temapt duduk yang ada lampunya seperti ini.
Perempuan setengah baya dalam rombongan itu akhirnya mendapat tempat duduk yang agak jauh. Sementara rombongannya masih berada di sekeliling saya. Saya sempat lega sejenak karena dialah sumber suara yang paling keras. Namun kelegaan itu tidak berlangsung lama. Beberapa menit kemudian ia datang lagi. Perempuan itu bahkan duduk nyempil di samping saya tanpa lebih dulu mengucapkan permisi. Ia mengeluh kalau bandara ini bisingnya seperti pasar. Sepertinya ia tidak sadar bahwa mulutnya adalah salah satu sumber kebisingan itu.
Saya lega sekali saat ada pengumuman untuk segera naik ke pesawat udara. Dengan sigap saya melangkahkan kaki menuju antrean ke pesawat, meninggalkan keriuhan ruang tunggu di belakang saya. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini