Ana

Jumat, 23 Juni 2017

Sedih Saat Mocil Dijual




            Mobil kecil saya si Mocil dijual. Keputusan itu terpaksa diambil karena berbagai sebab. Walaupun keputusan ini saya ambil dengan sadar dan tanpa paksaan, tetap saja sedih rasanya berpisah dengan Mocil. Bagi saya, Mocil bukan hanya sekedar benda. Mocil adalah teman setia.
Mobil yang sudah setia menemani saya sejak tahun 1999 itu sudah tidak muda lagi. Mobil itu sering memerlukan perawatan yang perlu biaya besar. Perawatan itu tidak hanya perawatan rutin. Ada banyak onderdil yang perlu diganti sehingga biayanya menjadi besar.
Pemeliharaan Mocil juga memerlukan waktu. Saya tidak punya banyak waktu untuk membawanya ke bengkel. Saya harus bersyukur, bengkel langganan saya dikelola oleh orang yang peduli pada Mocil. Service yang diberikan lebih dari yang diminta. Pak Priyono, pemilik bengkel, juga adalah teman saya. Saya juga berteman dengan seluruh keluarganya. Kepedulian Pak Priyono pada Mocil juga berarti kepedulian pada temannya.
Suatu hari Mocil mogok. Saat itu saya tidak bisa langsung mengurus Mocil. Saya tinggalkan Mocil di rumah sementara saya berkendara dengan kendaraan lain. Mudahnya akses angkutan umum di rute kegiatan saya membuat saya tidak terlalu memikirkan Mocil. Saya dapat pergi ke mana saja menggunakan angkutan umum atau kendaraan aplikasi online. Saya hanya teringat pada Mocil saat tiba di rumah dan melihatnya parkir di carport. Beberapa saat kemudian, saya sudah tidak ingat lagi pada “penderitaan” Mocil. Begitu seterusnya yang terjadi setiap hari.
Beberapa orang mengusulkan untuk menjual Mocil. Orang yang paling giat mengusulkannya adalah Papah. Sepertinya dia terganggu ada “barang rongsokan” di halaman rumahnya. Papahlah yang kemudian rajin mengiklankan Mocil dijual.
Setelah menerima masukan dari berbagai sumber, saya memutuskan untuk menjual Mocil. Keterikatan emosional membuat saya menunda nunda keputusan itu. Saya baru bertekad bulat setelah Pak Priyono, pemilik bengkel langganan saya itu, meninggal.Setelah kepergiannya, sepertinya tidak akan ada lagi orang yang benar benar peduli pada Mocil.
Ternyata cukup mudah mendapatkan calon pembeli Mocil. Orang itu bahkan sudah memutuskan untuk membeli sebelum melihat barangnya. Transaksi dilakukan dengan cepat. Orang tua saya membantu masalah transaksi ini. Sehari setelah transaksi, Mocil diambil.
Saya berusaha memandang penjualan itu sebagai transaksi jual beli biasa. Sama seperti transaksi di minimarket atau toko online. Namun ternyata tidak bisa. Keterikatan emosional saya terlalu besar. Saya sedih saat mengingat hari itu Mocil sudah tidak lagi menjadi milik saya. Saya sengaja tidak mau melihat saat Mocil dibawa dari rumah kami.
Pagi itu, sepanjang perjalanan saya teringat pada Mocil. Mobil yang sangat setia menemani saya itu. Tanpa sadar air mata saya menggenang. Lebay sekali rasanya, tetapi memang itulah yang terjadi. Saya memang sedih karena berpisah dengan Mocil. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini