Ana

Rabu, 28 Juni 2017

Dilempar Pisau Oleh Orang di Pasar Saat Memotret




            Sudah beberapa kali ini saya mendapatkan penugasan sebagai fotografer. Maksudnya merangkap menjadi penulis dan fotografer. Biasanya saya hanya menulis saja. Saya perlu waktu untuk persiapan khusus untuk hal ini karena saya sebenarnya tidak terlalu ahli memotret. Saya belajar pada teman saya, seorang fotografer profesional yang sudah berpengalaman.
            “Ada orang yang enggak mau difoto. Ada juga yang minta uang kalau mau difoto,” ujarnya mengingatkan.
            Saya tahu memang ada beberapa orang yang tidak mau difoto. Saya juga kadang-kadang begitu. Ada masanya saya benar-benar tidak suka difoto, apalagi kalau saya tahu kalau foto itu akan digunakan untuk membanding-bandingkan kecantikan. Untuk yang meminta uang kalau difoto, terus terang saya belum pernah menemuinya.
            Teman saya sang fotografer itu memberikan beberapa tips memotret orang. Antara lain dengan mendekati secara persuasif. Ajak ngobrol sampai akrab, baru meminta izin untuk memotret dirinya. Carilah orang-orang yang berdandan khas daerahnya. Biasanya mereka dapat ditemui di pasar tradisional.
            Tips itulah yang saya lakukan saat berada di pasar di Kota Sukamara, Kalimantan Tengah. Saya mencari orang yang berdandan khas daerahnya. Sayangnya, tidak banyak yang orang yang berdandan khas daerah. Kebanyakan orang yang saya temui di pasar itu berpakaian biasa saja. Maksudnya, model pakaiannya biasa, tidak ada yang khas daerah.  Sampai akhirnya saya bertemu dengan seorang ibu yang menggunakan bedak dingin. Bedak dingin adalah salah satu ciri khas di daerah itu.
            Saya mengajak ibu itu berbicara namun dia mengabaikan saya. Saya kemudian memotretnya dari jauh. Makin lama makin dekat. Bunyi klik klik kamera sudah pasti dapat didengar oleh ibu itu. Saat saya beada cukup dekat, ibu itu berteriak. Ia amrah karena saya memotretnya. Tidak hanya itu, ia juga melemparkan pisaunya.
            Saya langsung lari terbirit-birit karena dilempar pisau. Deg-degan luar biasa. Seorang bapak mengatakan sesuatu sambil meletakkan jarinya di dahi. Ia membentuk tanda miring. Melihat tanda itu, saya langsung sedikit lega dan khawatir di saat bersamaan. Orang yang agak “miring” kemungkinan memang melakukan hal itu tanpa kesadaran. Mungkin dia tidak tahu bahwa apa yang dilakukannya membahayakan.
            Perlu waktu beberapa saat bagi saya untuk dapat memulihkan diri. Saya duduk sejenak di pangkalan ojek. Di situ saya berbincang dengan beberapa orang pria yang agak ganjen. Saat itu dikelilingi para pria ganjen adalah pilihan yang lebih baik dibandingkan dilempari pisau. {ST}

Minggu, 25 Juni 2017

Anak Kembar di Pantai Anugerah, Sukamara


            Saya bertemu dengan sepasang anak kembar saat berkunjung ke Pantai Anugerah di Sukamara, Kalimantan Tengah. Kedua anak itu sedang bermain di sekitar pantai. Usia mereka sepertinya masih di bawah 5 tahun alias balita.
            Saat mengamati dari jauh, anak-anak itu asyik mengobrol. Mereka mendadak diam saat saya mendekat dan menanyakan sesuatu. Sepertinya mereka tidak terbiasa berbicara dengan orang asing seperti saya.
            Saya akhirnya berbicara dengan ibu kedua anak itu. Sang ibu mencari nafkah di situ dengan berjualan di warung. Saat itu, warung itu sedang tutup karena pantai sedang sepi pengunjung. Dari ibu itu saya baru tahu bahwa kedua anaknya itu belajar di PAUD di desa mereka. Keluarga mereka tinggal di desa tak jauh dari situ. Mereka memang diajarkan untuk tidak berbicara dengan orang asing yang belum dikenal.
            Melihat saya berbicara dengan ibunya, sepertinya kedua anak itu merasa bahwa saya adalah “orang yang dikenal”. Mereka menjadi sekidik lebih ramah. Tak lama kemudian mereka cukup akrab dengan saya. Mereka mengajak saya untuk bermain di dekat sebuah lubang. Mereka pun tidak lagi kabur saat saya mencoba memotretnya. {ST}

Sabtu, 24 Juni 2017

Upacara Bendera di Sekolah Daerah




Selama tahun ini, saya beberapa kali mengunjungi sekolah dasar di luar Jakarta. Antara lain di Kalimantan dan Papua. Dari kunjungan itu saya mengetahui kalau sekolah sekolah itu rutin mengadakan upacara bendera. Upacara rutin diadakan di hari Senin. Selain itu ada upacara lain untuk merayakan hari penting lainnya.
Berbeda dengan di Jakarta, tidak semua sekolah rutin mengadakan upacara bendera. Kalaupun ada yang rutin, upacara umumnya tidak diikuti oleh seluruh peserta didik. Sepertinya pilihan itu diambil karena keterbatasan tempat. Lapangan di sekolah sepertinya tidak cukup untuk menampung seluruh peserta didik beserta para pekerja di situ.
Saya pernah bersekolah di sekolah yang tidak rutin mengadakan upacara. Saat itu saya sangat bersyukur karena upacara bukanlah kegiatan yang menyenangkan. Cenderung membosankan. Baru bertahun-tahun kemudian saya tahu kegiatan itu ada manfaatnya, antara lain untuk menimbulkan perasaan kebangsaan.
Generasi saat ini banyak yang tidak lagi merasa cinta pada tanah airnya. Nasionalismenya dapat dikatakan buruk. Rasa hormat pada bendera merah putih, lagu Indonesia Raya, dan Pancasila nyaris hilang. Ada yang mengatakan itu terjadi karena tidak ada lagi upacara bendera yang dilakukan secara rutin.
Saya sempat terpukau saat menyaksikan upacara di sebuah sekolah di Papua. Anak-anak yang sebelumnya berlarian di lapangan itu berbaris rapi. Mereka Berdiri dengan khidmat. Sungguh mengharukan. {ST}

Jumat, 23 Juni 2017

Sedih Saat Mocil Dijual




            Mobil kecil saya si Mocil dijual. Keputusan itu terpaksa diambil karena berbagai sebab. Walaupun keputusan ini saya ambil dengan sadar dan tanpa paksaan, tetap saja sedih rasanya berpisah dengan Mocil. Bagi saya, Mocil bukan hanya sekedar benda. Mocil adalah teman setia.
Mobil yang sudah setia menemani saya sejak tahun 1999 itu sudah tidak muda lagi. Mobil itu sering memerlukan perawatan yang perlu biaya besar. Perawatan itu tidak hanya perawatan rutin. Ada banyak onderdil yang perlu diganti sehingga biayanya menjadi besar.
Pemeliharaan Mocil juga memerlukan waktu. Saya tidak punya banyak waktu untuk membawanya ke bengkel. Saya harus bersyukur, bengkel langganan saya dikelola oleh orang yang peduli pada Mocil. Service yang diberikan lebih dari yang diminta. Pak Priyono, pemilik bengkel, juga adalah teman saya. Saya juga berteman dengan seluruh keluarganya. Kepedulian Pak Priyono pada Mocil juga berarti kepedulian pada temannya.
Suatu hari Mocil mogok. Saat itu saya tidak bisa langsung mengurus Mocil. Saya tinggalkan Mocil di rumah sementara saya berkendara dengan kendaraan lain. Mudahnya akses angkutan umum di rute kegiatan saya membuat saya tidak terlalu memikirkan Mocil. Saya dapat pergi ke mana saja menggunakan angkutan umum atau kendaraan aplikasi online. Saya hanya teringat pada Mocil saat tiba di rumah dan melihatnya parkir di carport. Beberapa saat kemudian, saya sudah tidak ingat lagi pada “penderitaan” Mocil. Begitu seterusnya yang terjadi setiap hari.
Beberapa orang mengusulkan untuk menjual Mocil. Orang yang paling giat mengusulkannya adalah Papah. Sepertinya dia terganggu ada “barang rongsokan” di halaman rumahnya. Papahlah yang kemudian rajin mengiklankan Mocil dijual.
Setelah menerima masukan dari berbagai sumber, saya memutuskan untuk menjual Mocil. Keterikatan emosional membuat saya menunda nunda keputusan itu. Saya baru bertekad bulat setelah Pak Priyono, pemilik bengkel langganan saya itu, meninggal.Setelah kepergiannya, sepertinya tidak akan ada lagi orang yang benar benar peduli pada Mocil.
Ternyata cukup mudah mendapatkan calon pembeli Mocil. Orang itu bahkan sudah memutuskan untuk membeli sebelum melihat barangnya. Transaksi dilakukan dengan cepat. Orang tua saya membantu masalah transaksi ini. Sehari setelah transaksi, Mocil diambil.
Saya berusaha memandang penjualan itu sebagai transaksi jual beli biasa. Sama seperti transaksi di minimarket atau toko online. Namun ternyata tidak bisa. Keterikatan emosional saya terlalu besar. Saya sedih saat mengingat hari itu Mocil sudah tidak lagi menjadi milik saya. Saya sengaja tidak mau melihat saat Mocil dibawa dari rumah kami.
Pagi itu, sepanjang perjalanan saya teringat pada Mocil. Mobil yang sangat setia menemani saya itu. Tanpa sadar air mata saya menggenang. Lebay sekali rasanya, tetapi memang itulah yang terjadi. Saya memang sedih karena berpisah dengan Mocil. {ST}

Rabu, 21 Juni 2017

Pertama Kali ke Papua, Ujung Timur NKRI




            Sebagai orang yang bercita-cita ingin keliling dunia, saya selalu suka travelling. Saya hampir selalu menerima penugasan ke luar kota dengan senang hati. Saya senang sekali saat mendapat tugas ke Merauke, Papua.
            Merauke termasuk tempat yang ingin saya kunjungi. Saya mengetahui nama kota ini dari lagu yang sering saya nyanyikan waktu kecil dulu. Lagu “Dari Sabang Sampai Merauke” ingin menceritakan banyaknya pulau-pulau yang menjadi bagian Indonesia. Sabang berada di ujung barat Indonesia, sedangkan Merauke di ujung timurnya. Lagu ini juga menjadi lagu wajib saat saya masih di sekolah dasar dulu.
            Walaupun ingin ke Merauke, saya tidak pernah merencanakan untuk pergi jalan-jalan ke sana. Bahkan ke Papua pun tidak. Jaraknya yang jauh dan biayanya yang mahal menjadi pertimbangan saya. Selain itu, saya tidak mengenal seorang pun di sana. O ya, masih ada pula isu keamanan. Kabarnya di kota itu tidak terlalu aman.
            Penerbangan ke Merauke rasanya lama sekali. Terbang malam, sampainya pagi. Perlu transit 2 kali untuk menuju Merauke dari Jakarta. Pertama di Makasar, yang kedua di Jayapura. Zona waktu di Merauke menggunakan Waktu Indonesia Timur, sedangkan Jakarta menggunakan zona Waktu Indonesia Barat. Ada selisih 2 jam. Sepertinya itu juga membuat perjalanan ke sana terasa lebih panjang.
            Saya berada di Merauke hanya selama 4 hari. Selama 4 hari itu, saya dan teman-teman mendapatkan pengalaman baru. Pengalaman itu saya tuliskan menjadi beberapa artikel di majalah anak tempat saya numpang berkarya. Saya juga mendapatkan teman baru dalam perjalanan ini. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini