Ana

Rabu, 17 Mei 2017

Rumah Leluhur di Desa Tewang Pajangan




            Desa Tewang Pajangan di tepi Sungai Kahayan adalah desa tempat leluhur saya berasal. Di desa kecil inilah ayah saya dilahirkan dan menghabiskan masa kecilnya. Nama desa ini hampir selalu didengungkan dalam pertemuan keluarga kami. Akan tetapi, kami sangat jarang ke sana. Sepanjang hidup saya, rasanya hanya pernah 3 kali berkunjung ke desa ini.

            Kunjungan terakhir saya terjadi di awal tahun 2017 ini. Saya dan sepupu-sepupu sengaja datang untuk  berbagi. Ide itu berawal dari sepupu saya yang akan tinggal di luar negeri. Ia ingin mengungkapkan rasa syukur dengan berbagi di desa asal orang tuanya. Saya yang memang sudah lama ingin ke sana segera menyambut baik niat itu.

            Pada waktu yang telah ditentukan, kami berangkat dari Palangkaraya menuju Tewang Pajangan. Perjalanan menggunakan mobil itu memerlukan waktu sekitar 3 jam. Papah juga ikut dalam perjalanan ini. Sepanjang perjalanan ia berkisah, bahwa dulunya perjalanan pulang ke kampungnya itu memakan waktu sangat lama. Perjalanan menggunakan jalur air itu memakan waktu seharian. Perjalanan itu juga menjadi perjuangan tersendiri karena melawan arus sungai.

Rumah Panggung Berbahan Kayu


            Rumah leluhur kami itu bentuknya rumah panggung berbahan kayu. Saat ini rumah ini berada di sebuah lapangan rumput yang di sekitarnya banyak sapi-sapi merumput. Rumah itu letaknya cukup jauh dari tepi Sungai Kahayan. Dulunya, rumah itu letaknya tak terlalu jauh dari tepi sungai. Ada cerita tersendiri mengapa rumah ini bisa berpindah.

            Beberapa tahun yang lalu, rumah ini memang sengaja dipindah. Sungai Kahayan makin lama makin lebar. Tepian sungainya mengalami erosi sehingga bagian depan rumah letaknya sudah tak jauh dari tepi sungai. Keadaan itu membuat keluarga kami prihatin. Akhirnya keluarga besar kami memutuskan untuk memindahkan rumah itu. Caranya dengan menariknya bersama-sama sambil bergotong-royong.

Saya dikirimi video saat pemindahannya. Rumah kayu itu sama sekali tidak dibongkar. Dengan komando seorang komandan, rumah itu bersama-sama diangkat dan digeser perlahan-lahan sampai ke tempatnya sekarang ini. Nah, di tempat itulah rumah itu berdiri saat saya mengunjunginya di bulan Januari 2017.
Rumah Kenangan Papah

            Rumah ini adalah rumah kenangan bagi Papah. Rumah kayu itu adalah tempatnya dilahirkan dan menjalani masa kecilnya sebagai anak bungsu di Keluarga Singa Marthinus Toemon. Tangga depan rumahnya adalah tempat bermain bagi Papah. Jendelanya adalah tempat Papah ngadem saat kelelahan. Beberapa bagian lain di rumah ini juga menjadi tempat yang mengesankan bagi Papah.

            Saat berada di rumah itu, Papah berkali-kali bercerita tentang masa kecilnya di rumah itu. Papah yang akrab dengan kakaknya itu menceritakan kenakalan kecil mereka sambil tertawa. Sepupu saya, anak kakaknya Papah, sampai terharu mendengarnya.

            Papah bercerita kalau dulu, di matanya sebagai seorang anak kecil, rumah yang memiliki 3 kamar tidur itu  besar sekali. Rumah itu hampir setiap hari dikunjungi orang. Kakek saya yang adalah seorang kepala kampung memang sering mendapatkan kunjungan orang. Entah sekadar bertandang, atau memiliki urusan terkait adat.

Rumah Kosong


            Rumah berbahan kayu itu saat ini tak berpenghuni. Hanya sesekali saja ada keluarga yang datang untuk menengok dan membersihkannya. Itu membuatnya masih berdiri kokoh sampai saat ini. Ada lampu kecil sebagai penerangan untuk rumah itu. Pemasangan listrik di rumah ini memancing pro dan kontra di keluarga besar kami. Ada yang menganggap wajar pemasangan lampu listrik di situ. Ada juga yang memandangnya memiliki risiko tinggi untuk terbakar mengingat rumah itu tidak berpenghuni.

            Kekosongan rumah itu makin terasa karena dinding kayunya pun kosong. Beberapa tahun yang lalu, dinding itu dipenuhi oleh foto-foto keluarga kami pada saat keberhasilannya. Ada foto yang sedang wisuda, ada juga yang saat menikah. Ya, kedua peristiwa itu memang dianggap sebagai ukuran keberhasilan di daerah situ. Foto saya wisuda juga pernah ada di dinding rumah itu. Entah apa sebabnya, foto-foto itu berpindah ke rumah kakaknya Papah, sang anak sulung. Akibatnya, dinding rumah bernomor 44 itu sekarang hanya dihuni oleh sebuah jam dinding. 


Rasanya Seperti Pulang ke Rumah

            Memasuki rumah itu rasanya seperti pulang ke rumah sendiri. Perasaan itu tidak hanya terjadi pada saya. Sepupu-sepupu saya pun merasakannya. Kami merasa pulang ke rumah saat berada di rumah leluhur kami itu. Kami bergeletakan di ruang depan sambil menikmati angin sepoi-sepoi sementara Papah duduk di dekat jendela favoritnya waktu masih kecil.

            Rumah leluhur saya itu menimbulkan banyak inspirasi bagi saya. Ada beberapa karya saya yang lahir karena inspirasi dari kunjungan saya ke rumah ini. Padahal itu hanya berupa kunjungan singkat. Mungkin suatu saat nanti saya perlu menginap di rumah itu sambil membuat karya tulis baru. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini