Saya
berada di Kalimantan pada akhir bulan April 2017. Tepatnya saya berada di
Sukamara, ibu kota Kabupaten Sukamara. Saya berada di sana selama 4 hari.
Selama 4 hari itu saya tidak terlalu memantau perkembangan berita terkini. Saya
hanya terhubung dengan group Whatsapp dan juga dengan beberapa pihak yang
menjadi bagain tanggung jawab saya.
Salah
satu berita paling heboh di akhir bulan April 2017 itu adalah banyaknya
karangan bunga yang dikirimkan ke Balai Kota Jakarta. Karangan bunga berbentuk
bunga papan itu berisi ucapan dukungan untuk Pak Ahok dan Pak Jarot. Pasangan
gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta ini belum lama ini tidak berhasil
memenangkan pilkada.
Bunga-bunga
papan itu terus berdatangan sampai jumlahnya ribuan. Halaman balai kota tak
lagi cukup menampungnya sehingga bunga-bunga itu diletakkan di sekitar Tugu
Monas. Keberadaannya menjadikan Jakarta semakin meriah. Banyak yang
menjadikannya tujuan wisata dadakan. Beberapa kenalan saya bahkan niat banget
untuk datang melihat bunga-bunga itu.
Saya
yang berada jauh di seberang lautan, tidak terlalu berharap banyak untuk
melihat ribuan bunga papan yang konon kabarnya jumlahnya memecahkan rekor itu.
Harapan saya itu kian tipis saat beberapa orang “buruh” membakar beberapa
karangan bunga itu. Mereka melakukannya saat perayaan Hari Buruh, tanggal 1 Mei
2017. Perayaan yang biasa disebut Mayday itu agak ricuh karena ada pembakaran
karangan bunga yang entah apa maksudnya. Kericuhan ini reda karena hujan yang
lebat.
Tanggal
1 Mei itu adalah hari libur nasional. Hari libur yang jatuh di hari Senin itu
disambut beberapa orang sebagai bagian dari long
weekend. Banyak orang yang bepergian ke luar kota untuk menikmatinya. Saya
yang baru saja kembali dari luar kota memilih menikmati ibu kota di hari itu.
Saya menjelajah Jakarta menggunakan bus transjakarta.
Banyak
jalan yang ditutup akibat demonstrasi atau perayaan Mayday di sekitar Monas.
Rute transjakarta pun dialihkan. Saya yang semula mau turun di pusat
perbelanjaan Sarinah terpaksa mencari alternatif lain. Saya akhirnya hanya
menikmati perjalanan sambil sesekali membaca buku yang saya bawa.
Malam
harinya, rute yang melewati Monas sudah dibuka. Saat lewat di situ, saya
melihat ada banyak nyala lilin di bundaran air mancur yang dekat “Tugu Kuda”.
Daerah ini adalah daerah yang biasanya digunakan untuk berbagai aksi.
Sepertinya lilin-lilin yang dinyalakan itu adalah bagian dari aksi.
Saya
menajamkan pandangan mata saya sambil mencoba memotret peristiwa yang terjadi.
Selain saya, ada beberapa orang lain yang juga penasaran. Di sepanjang jalan
itu, sekilas saya melihat beberapa karangan bunga yang berantakan. Ada yang
diletakkan sembarangan, ada juga yang diletakkan bertumpukan.
Sempat
terpikir untuk turun di halte Monas. Saya sudah bergerak menuju pintu keluar.
Namun niat itu saya urungkan mengingat saat itu sudah malam. Selain karena
sudah lelah, saya juga tak yakin kalau di daerah situ cukup aman mengingat baru
saja ada demonstrasi yang ricuh.
Saya
turun di Halte Harmoni untuk melanjutkan perjalanan ke arah rumah saya. Rute
bus yang saya naiki itu melewati Monas. Saat melihat papan-papan bunga yang
berantakan itu kembali muncul niat saya untuk turun dan melihatnya. Saya juga
ingin memotretnya. Foto-foto itu akan menjadi bagian dari sejarah karena sampai
sekarang belum pernah ada pejabat publik yang mendapatkan kiriman bunga
sebanyak itu.
Akhirnya
saya pun turun di Halte Monas. Saya langsung mengeluarkan kamera merah
kesayangan saya. Kamera itu saat ini sudah tidak dapat berfungsi dengan baik.
Layarnya sudah tidak dapat digunakan lagi untuk melihat. Saya hanya
mengira-ngira saja saat memotret. Saya memotret papan-papan bunga yang berada
di Jalan Merdeka Timur itu.
Sambil
memotret, saya berjalan ke arah Bundaran Patung Kuda. Barulah saya melihat
dengan jelas orang-orang yang membawa lilin itu. Mereka berpakaian kotak-kotak.
Sebagian dari mereka sepertinya memutuskan untuk menyudahi aksinya. Maklum
saja, saat itu hari sudah malam. Tanda waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB.
Dari
situ saya melanjutkan perjalanan ke Balai Kota Jakarta. Tak terduga, tempat ini
ramai sekali sampai-sampai harus antre untuk masuk. Setiap pengunjung harus
mengisi buku tamu dan masuk melalui gerbang pendeteksi logam.
Halaman
balai kota dipenuhi banyak orang. Dari pengamatan saya, mereka kebanyakan
rakyat pendukung Pak Ahok dan Pak Jarot. Mereka sangat menyayangkan perusakan
dan pembakaran karangan bunga pada aksi siang harinya. Hampir semua orang yang
datang itu mengabadikan bunga-bunga itu. Saya juga memotret berbagai karengan
bunga sambil tersenyum-seyum sendiri saat melihat tulisan yang tertera di situ.
Saya beberapa kali dimintai bantuan memotret
orang-orang. Awalnya saya agak kesal karena disuruh-suruh. Namun akhirnya saya
mengerjakannya dengan sukacita karena melihat wajah mereka. Wajah-wajah yang
tulus memberikan dukungan dan tersenyum senang. Tak terasa waktu sudah beranjak
makin malam. Baterai kamera saya sudah makin lemah. Walaupun saya tidak dapat
melihat indikatornya di layar, saya dapat merasakannya.
Saya baru melangkah keluar dari halaman Balai Kota
sekitar jam 11 malam. Saat itu, masih banyak orang yang datang ke Balai Kota.
Saya pulang naik taksi. Taksi yang mengantarkan saya itu baru saja menurunkan
penumpang ke Balai Kota Jakarta. Menurut supir taksi yang mobilnya berwarna
biru itu, dia sudah 2 kali mengantarkan orang ke balai kota pada hari itu.
Menjelang tengah malam, saya sampai di rumah. Saya senang sekali karena sempat
mengabadikan ribuan karangan bunga itu. {ST}