Suatu
saat saya mendapat tugas ke sebuah kota kecil. Kota itu adalah sebuah ibu kota
kabupaten. Hanya dalam beberapa menit berkendara menggunakan mobil, saya sudah
mengelilingi kota itu. Seorang penghuni kota itu berbaik hati mengantarkan saya
mengelilingi kota tempat tinggalnya.
“Sepertinya
ini kota yang aman dan damai,” ujar saya.
“Siapa
bilang?” sahut orang yang menemani saya.
“Maksudnya?”
tanya saya ingin tahu.
“Kalau
pencurian, sih, gak ada. Kita bisa tinggalin mobil sembarangan tanpa dikunci
juga gak ada yang nyuri. Di sini banyaknya selingkuh,” ucapnya.
“Hah?”
tanya saya kaget.
“Kota
kecil selingkuh besar ha ha ha,” sahutnya.
Dia
kemudian bercerita tentang banyaknya orang yang ketahuan berselingkuh.
Perselingkuhan itu kadang-kadang meretakkan hubungan rumah tangga. Namun banyak
juga yang tetap bertahan dengan pasangan resminya.
“Yeah,
namanya juga kota kecil. Gak ada hiburan,” pungkas sang pengemudi itu.
Dari
percakapan penuh canda tawa itu kami semua menyimpulkan wajar saja terjadi
perselingkuhan di kota itu. Saya baru menganggap hal itu tidak wajar setelah
beberapa hari tinggal di kota itu. Kota itu dapat dikatakan kota yang religius.
Kegiatan religius dilakukan hampir setiap hari. Rasanya, kok, tidak wajar, ya,
ada kota yang religius sekaligus tukang selingkuh. {ST}