Hari
Rabu tanggal 24 Mei 2017 Jakarta dihebohkan oleh bom yang meledak di Kampung Melayu.
Bom itu meledak di halte Transjakarta dan menewaskan beberapa orang polisi.
Peristiwa itu langsung menyebar cepat dengan bantuan media sosial. Beritanya tidak
hanya berupa kata atau suara, tetapi juga foto-foto yang menyeramkan.
Esoknya,
tanggal 25 Mei 2017 adalah hari libur nasional. Hari itu dirayakan sebagai hari
kenaikan Tuhan Yesus ke Surga. Sebagai orang Kristen, saya merayakannya dengan
kebaktian di gereja. Saya bertugas di kebaktian pukul 19.00 WIB di GKI Kwitang.
Saat
tiba di gereja, saya menyapa beberapa orang yang saya kenal. Namun ada 1 orang
yang tidak saya kenal. Orang itu mengikuti saya di lorong gereja. Lelaki itu
berjenggot dan membawa ransel hitam besar.
Sejenak
saya merasa agak waswas melihat orang yang mengikuti saya itu. Ciri-cirinya
membuat saya berprasangka. Berkali-kali saya mendapat peringatan untuk
mewaspadai orang tak dikenal yang membawa ransel besar, yang biasanya berwarna
hitam. Peringatan itu kembali teringat, apalagi sehari sebelumnya terjadi pemboman.
Saya
menghentikan langkah sejenak karena sepertinya orang itu ingin mengajak
berbicara.
“Ruang
majelis di mana, ya?” tanyanya.
“Ooo,
di situ,” jawab saya sambil menunjuk ke ruang konsistori.
Saya juga mengantarkannya karena saya juga mau menuju
ke ruang itu untuk persiapan bertugas. Dalam hati saya bertanya-tanya apa
kepentingannya ke ruang majelis. Tepat saat saya mau bertanya, dia sudah lebih
dulu memberikan jawabannya.
“Saya yang berkhotbah di kebaktian malam ini,”
ujarnya.
“Hah?” pekik saya kaget.
Seingat saya, yang dijadwalkan bertugas malam itu
adalah seorang pendeta perempuan. Kok, malah munculnya seorang pria berjenggot
begini. Saya baru mendapatkan penjelasannya saat berada di ruang konsistori.
Rupanya dia menggantikan tugas pendeta yang telah dijadwalkan. Saya jadi malu
sendiri karena berprasangka. Sepertinya prasangka itu masuk ke dalam alam bawah
sadar saya. {ST}