Saya
membawa monopod dalam sebuah perjalanan ke Kalimantan. Perjalanan ini adalah
bagian dari tugas saya. Monopod itu menjadi alat bantu saya untuk merekam
bahasa yang digunakan di tempat itu. Saya memilih membawa monopod yang ringkas
dibandingkan dengan tripod yang ukurannya lebih besar dan tentu saja lebih
berat.
Monopod
itu dapat dipendekkan kemudian dimasukkan dalam sarung hitam dengan pegangan.
Saya membawanya seperti membawa tas yang disampirkan di bahu. Keberadaannya di
lengan saya tidak terlalu mengganggu karena bobotnya yang ringan. Saya pun
berjalan santai menuju ruang tunggu bandara untuk menanti penerbangan pagi.
Pada
saat pemeriksaan barang yang dimasukkan ke dalam alat pindai, monopod itu
menjadi masalah. Sesaat setelah keluar dari alat pindai itu, pemiliknya
langsung dipanggil. Saya pun datang ke situ tanpa rasa bersalah.
“Mbak
tahu kalau alat ini tidak boleh dibawa dalam kabin? Alat seperti ini harus
dimasukkan dalam bagasi,” ujar seorang petugas keamanan.
“Gak
tahu. Saya baru tahu sekarang ini,” jawab saya agak kesal.
Saya
kesal karena percakapan itu menghambat perjalanan saya. Saya sudah berjanji
akan bertemu dengan teman seperjalanan saya di ruang tunggu. O ya, saat itu
saya belum mengenal teman perjalanan saya itu. Kami hanya berhubungan
menggunakan pesan Whatsapp.
“Terus,
ini harus bagaimana?” tanya saya.
“Ya,
ini harus dimasukkan ke bagasi,” jawab petugas itu.
“Alasannya
apa?” tanya saya lagi.
“Ada
peraturannya, Mbak,” jawabnya lagi.
“Peraturannya
baru, ya? Saya baru tahu. Sebelumnya saya juga pernah bawa, gak ditangkap,
tuh,” omel saya.
“Iya,
peraturannya baru beberapa bulan ini, Mbak. O ya, ini bukan ditangkap, kok,”
jawab petugas itu. Kali ini suaranya lebih ramah. Sebelumnya suaranya terdengar
tegas, seperti layaknya petugas keamanan.
“Alasannya
apa, sih? Kalau dilarang membawa benda tajam atau bahan yang mudah meledak,
kan, dapat dipahami. Kalau monopod, memangnya kenapa? Tongsis itu monopod juga,
kan?” kata saya tetap belum dapat menerima.
“Begini
saja. Ibu saya temani ke bagian penitipan bagasi,” kata petugas itu menawarkan
diri.
Dia tidak menjawab pertanyaan saya sama sekali.
Mungkin dia juga bingung. Atau tak menyangka akan bertemu dengan penumpang yang
terlalu kritis seperti saya.
“Kalau monopodnya saya masukkan dalam tas bagaimana?”
tanya saya, masih mencoba negosiasi.
“Eh…eng hmm,” gumam petugas itu.
Akhirnya petugas itu curhat bahwa dia juga tidak tahu
mengapa ada peraturan itu. Tentunya peraturan itu dibuat karena ada kejadian
sebelumnya. Mungkin pernah ada peristiwa yang membahayakan dengan menggunakan
monopod. Memang ada potensi bahaya apabil ada monopod di dalam kabin. Mungkin
saja digunakan untuk kejahatan.
Tak terasa kami pun sampai di loket pengurusan bagasi.
Saya masih tetap keberatan namun tidak lagi mendebat. Saya mengikuti prosedur
untuk menitipkan monopod saya ke dalam bagasi. Monopod saya mendapatkan tanda
terima bagasi. Saya harus mengambilnya di bandara tujuan. Dalam hati saya berjanji untuk sebisanya
tidak membawa monopod lagi. Hmmm…. Atau sekalian saja bawa bagasi yang banyak. {ST}