Ana

Sabtu, 04 Maret 2017

Jambret di Depan Gereja




            Siang itu saya berdiri di pinggir jalan di depan gereja tempat saya sering bersekutu. Saya sedang menunggu mobil jemputan transportasi online yang kabarnya sudah dekat. Mendengar kabar itu, saya segera bersiap-siap menanti. Saya berdiri sambil berteduh di bawah pohon sambil mengamati telepon genggam saya.
            Selagi menanti, ada beberapa orang yang saya kenal mengajak ngobrol. Ada seorang satpam dan juga teman lainnya. Saat kami sedang bercakap-cakap, ada seorang bapak yang mendekat dengan mengendarai sepeda motor. Dia menjalankannya dengan pelan. Kami sempat bertemu pandang sejenak sebelum dia mencoba menjambret telepon di genggaman saya. Syukurnya percobaan itu tidak berhasil. Telepon genggam itu memang bergeser, namun masih dalam genggaman saya. Seketika saya langsung sadar akan maksud tidak baik orang itu.
            “Jambret!” teriak saya pelan.
Teriak, kok, pelan he he he… Namun, memang itulah kenyataannya. Saya memang niatnya mau teriak, tapi keluarnya hanya suara pelan. Badan saya sedikit gemetar, entah karena takut, gugup, kesal, atau marah. Jadinya saya hanya menggerutu dan mengadu. Beberapa kenalan saya yang berada di dalam mobil yang mau menepi sempat melihat pula kejadian itu. Kami berbahasa isyarat tentang kejadian itu.
Walaupun agak kesal, saya mencoba bersyukur karena atas kejadian itu. Terus terang saya kesal karena orang itu telah membuat gereja tempat saya bersekutu menjadi daerah yang tidak aman. Orang itu bahkan berani-beraninya menjambret di depan petugas keamanan. Entah karena nekad atau karena sudah biasa sehingga hati nuraninya sudah tak lagi dapat mengingatkannya. Namun saya berhasil bersyukur karena telepon genggam saya itu tidak jadi berpindah tangan. Telepon genggam itu masih ada dalam genggaman tangan saya yang gemetar.
Teman-teman saya mengingatkan untuk tidak lagi menunggu kendaraan di pinggir jalan sambil memegang telepon genggam. Itu sama saja seperti menempatkan orang ke dalam pencobaan. Kebanyakan orang jahat awalnya tidak berniat jahat sampai ia melihat peluang. Nah, memamerkan telepon genggam di pinggir jalan dianggap sebagai memberikan peluang. Tidak peduli walaupun telepon genggam itu model lama dan sudah bocel-bocel di sana-sini.
Tak lama kemudian, mobil jemputan saya datang. Saya sampaikan keberatan saya karena pengemudi itu baru muncul lama sekali di tempat yang kami sepakati bersama. Dengan teknologi yang ada, saya bisa memantau pergerakannya. Walapun jaraknya sudah dekat, namun mobil itu tidak terlihat bergerak padahal saat itu jalanan sedang lancar. Saya juga sampaikan bahwa saya hampir saja dijambret karena menantinya di pinggir jalan. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini