Siang
itu saya berdiri di pinggir jalan di depan gereja tempat saya sering bersekutu.
Saya sedang menunggu mobil jemputan transportasi online yang kabarnya sudah dekat. Mendengar kabar itu, saya segera
bersiap-siap menanti. Saya berdiri sambil berteduh di bawah pohon sambil
mengamati telepon genggam saya.
Selagi
menanti, ada beberapa orang yang saya kenal mengajak ngobrol. Ada seorang
satpam dan juga teman lainnya. Saat kami sedang bercakap-cakap, ada seorang
bapak yang mendekat dengan mengendarai sepeda motor. Dia menjalankannya dengan
pelan. Kami sempat bertemu pandang sejenak sebelum dia mencoba menjambret
telepon di genggaman saya. Syukurnya percobaan itu tidak berhasil. Telepon
genggam itu memang bergeser, namun masih dalam genggaman saya. Seketika saya
langsung sadar akan maksud tidak baik orang itu.
“Jambret!”
teriak saya pelan.
Teriak, kok, pelan he he he… Namun, memang itulah
kenyataannya. Saya memang niatnya mau teriak, tapi keluarnya hanya suara pelan.
Badan saya sedikit gemetar, entah karena takut, gugup, kesal, atau marah.
Jadinya saya hanya menggerutu dan mengadu. Beberapa kenalan saya yang berada di
dalam mobil yang mau menepi sempat melihat pula kejadian itu. Kami berbahasa isyarat
tentang kejadian itu.
Walaupun agak kesal, saya mencoba bersyukur karena
atas kejadian itu. Terus terang saya kesal karena orang itu telah membuat
gereja tempat saya bersekutu menjadi daerah yang tidak aman. Orang itu bahkan
berani-beraninya menjambret di depan petugas keamanan. Entah karena nekad atau
karena sudah biasa sehingga hati nuraninya sudah tak lagi dapat
mengingatkannya. Namun saya berhasil bersyukur karena telepon genggam saya itu
tidak jadi berpindah tangan. Telepon genggam itu masih ada dalam genggaman
tangan saya yang gemetar.
Teman-teman saya mengingatkan untuk tidak lagi
menunggu kendaraan di pinggir jalan sambil memegang telepon genggam. Itu sama
saja seperti menempatkan orang ke dalam pencobaan. Kebanyakan orang jahat
awalnya tidak berniat jahat sampai ia melihat peluang. Nah, memamerkan telepon
genggam di pinggir jalan dianggap sebagai memberikan peluang. Tidak peduli
walaupun telepon genggam itu model lama dan sudah bocel-bocel di sana-sini.
Tak lama kemudian, mobil jemputan saya datang. Saya
sampaikan keberatan saya karena pengemudi itu baru muncul lama sekali di tempat
yang kami sepakati bersama. Dengan teknologi yang ada, saya bisa memantau
pergerakannya. Walapun jaraknya sudah dekat, namun mobil itu tidak terlihat
bergerak padahal saat itu jalanan sedang lancar. Saya juga sampaikan bahwa saya
hampir saja dijambret karena menantinya di pinggir jalan. {ST}